Kisah Asmujiono, Warga Malang yang Kibarkan Merah Putih dan Pekik Merdeka di Puncak Everest

Pada saat menjalani sesi persiapan, Asmujiono sempat terkena gejala radang dingin atau frostbite. Namun dirinya tak patah semangat.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Agu 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2023, 18:00 WIB
Asmujiono mengibarkan bendara merah putih di puncak Everest (Dok. Liputan6/Istimewa)
Asmujiono mengibarkan bendara merah putih di puncak Everest (Dok. Liputan6/Istimewa)

Liputan6.com, Malang - Tak mudah mengibarkan sang saka merah putih di puncak Everest yang ketinggiannya mencapai 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl). Salah satu orang Indonesia yang berhasil melakukannya, adalah Asmujiono, warga Dusun Kebonsari, Kecamatan Tupang, Malang, Jawa Timur.

Asmujiono memekikkan "merdeka" saat dirinya mengenakan baret merah yang identik dengan satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, ketika menyapa warga RW 01, Desa Tumpang yang bersiap melaksanakan upacara peringatan ulang tahun ke-78 Indonesia.

Tampak rasa bangga pada raut wajah pria kelahiran Kota Malang, 1 September 1971 itu ketika hendak memperingati kemerdekaan. Semangat itu menggelora, meskipun saat ini ia tidak lagi menjadi anggota Kopassus sejak 2011, karena pensiun dini dengan pangkat terakhir sersan kepala (serka).

Asmujiono mengikuti pendidikan Kopassus tahun 1993 dan lulus pada 1994. DIa kemudian mendapatkan tugas pertama di wilayah Timor Timur. Pada perjalanannya, Asmujiono mendapatkan pengalaman berharga, saat bergabung dalam tim Everest 1997.

Tim Everest 1997 itu dibentuk dengan misi untuk mengibarkan Merah Putih pada puncak tertinggi di dunia melalui arahan dari Prabowo Subianto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus.

Sebelum terpilih masuk dalam tim Everest 1997 tersebut, Asmujiono harus bersaing dengan sejumlah personel Kopassus lain, untuk membuktikan bahwa ia layak diberikan kesempatan menaklukkan puncak tertinggi di dunia itu.

Pada akhirnya, Asmujiono menjadi salah satu anggota tim yang saat itu 43 orang. Tim itu terdiri dari berbagai unsur, yakni Kopassus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan masyarakat sipil dan diberangkatkan ke Nepal, pada November 1996.

Tim tersebut juga mendatangkan pelatih Anatoly Boukreev dan dokter dari Rusia, termasuk didampingi sherpa terbaik dari Nepal. Tim tersebut melakukan aklimatisasi atau penyesuaian pada kondisi lingkungan, sebelum melakukan pendakian ke Everest.

Tim yang beranggotakan 43 orang tersebut, kembali harus melakukan seleksi sebelum dipastikan mampu melakukan pendakian Everest yang berisiko tinggi. Proses seleksi tersebut dilakoni dengan cukup berat hingga batas kemampuan manusia.

Pada akhirnya, jumlah personel yang dinilai mampu melakukan pendakian Everest saat itu diputuskan sebanyak 16 orang. Dari 16 orang tersebut, 10 di antaranya merupakan anggota Kopassus TNI AD dan sisanya masyarakat sipil.

Tim tersebut, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yakni Tim Utara dan Tim Selatan. Tim Utara beranggotakan enam orang, sementara Tim Selatan 10 orang. Dibentuknya dua tim tersebut bertujuan untuk menaklukkan Everest dari dua arah.

Asmujiono yang saat itu berpangkat prajurit satu (pratu), bergabung dengan Tim Selatan bersama Sersan Satu (Sertu) Misirin dan Letnan Satu (Lettu) Iwan Setiawan. Dari 10 orang di Tim Selatan, hanya tiga orang itu yang dinyatakan siap untuk mendaki puncak Everest.

 

Terkena Gejala Radang Dingin

Gunung Everest
Gunung Everest (sumber: unsplash)

Pada saat melakukan persiapan untuk pendakian Everest, tiga orang tersebut melakukan latihan perjalanan dari sejumlah titik kumpul (basecamp). Pada saat menjalani sesi persiapan tersebut, Asmujiono sempat terkena gejala radang dingin atau frostbite.

Perjalanan tim Everest 1997 menuju puncak tertinggi dunia dari basecamp 4, dilakukan pada 26 April 1997 kurang lebih pukul 00.00 waktu setempat. Asmujiono sempat merasakan nyeri di punggung dan masalah pada tabung oksigen miliknya sebelum melakukan pendakian tersebut.

Dalam pendakian tersebut, Asmujiono, Misirin dan Iwan Setiawan didampingi oleh dua orang sherpa, serta pelatih dan dokter dari Rusia. Tujuh orang tersebut, memulai perlahan pendakian untuk mencapai atap dunia tersebut.

Pendakian yang menjadi perjuangan hidup mati demi berkibarnya Merah Putih di Puncak Everest tersebut, dilalui Asmujiono dan rekan-rekannya dengan tidak mudah. Lintasan-lintasan berat, harus dihadapi tim yang membawa nama baik Indonesia itu.

Asmujiono beberapa kali sempat diperingatkan oleh pelatih dan sherpa untuk kembali turun karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, keinginan Asmujiono untuk mengibarkan Merah Putih di puncak Everest, masih tetap tinggi.

Pada titik itu, Asmujiono juga sempat berpikir jika ia kembali turun dan tidak mampu mencapai puncak, maka hanya kegagalan yang ia terima. Namun, jika memaksakan diri dan meninggal dunia, itu sebuah risiko dalam melaksanakan tugas.

"Kalau meninggal, itu risiko melaksanakan tugas, karena semboyan Kopassus, lebih baik pulang nama, daripada gagal tugas," kata Asmujiono.

Ia bahkan sempat terpisah dengan Misirin dan Iwan Setiawan. Misirin pada awalnya berada di depan Asmujiono, namun kesulitan untuk melanjutkan pendakian akibat kondisi yang berat. Sementara Lettu Iwan Setiawan juga terjatuh dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Dengan tenaga tersisa, Asmujiono mengerahkan kemampuan terakhir untuk mencapai puncak. Mendaki dengan gontai, Asmujiono terjatuh dan merasa kesakitan di kakinya. Asmujiono seperti hilang semangat pada saat terjatuh pada detik-detik akhir pendakian itu.

Namun, pelatih dan sherpa yang berada di belakangnya, berteriak "Asmujiono, summit!" (puncak). Asmujiono berhasil mencapai Puncak Everest pada 26 April 1997, pukul 15.45 waktu Nepal.

 

Perjuangan Mengibarkan Merah Putih

Gunung Himalaya
Pemandangan Gunung Himalaya, Gunung Kangtega (ketinggian 6782 meter) dari desa Khumjung di wilayah Everest, sekitar 140km timur laut Kathmandu (16/4). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Sadar dirinya sudah berada di puncak dunia, ia kemudian mengamankan diri dengan sebuah tali yang diikat pada badannya karena angin berhembus sangat kencang. Kemudian, ia mengambil bendera Merah Putih yang ada di dalam tas, untuk dipasang di Puncak Everest.

Dalam kondisi yang ekstrem tersebut, Asmujiono juga menyempatkan diri untuk mengenakan baret merah kebanggaan Kopassus. Ia juga berkeinginan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dari ketinggian 8.848 mdpl itu.

Namun, karena kondisi yang sulit, Asmujiono pada akhirnya menyanyikan lagu Padamu Negeri di dalam hati di Puncak Everest. Rasa bangga membalut Asmujiono karena telah mampu menyelesaikan tugas mengibarkan Merah Putih di puncak dunia.

"Perasaan saat mengibarkan Merah Putih, itu antara hidup dan mati, haru dan sedih. Namun saya merasa bangga. Terharu dan bangga, sebagai anak yatim piatu, saya bisa mengibarkan Merah Putih di puncak tertinggi dunia, dan mewujudkan keinginan Indonesia," kata Asmujiono.

Dalam peringatan ulang tahun ke-78 Indonesia, Asmujiono berpesan kepada generasi muda untuk bisa berkarya yang membanggakan diri sendiri, bangsa, dan negara. Tekad dan kemampuan yang kuat menjadi kunci untuk mencapai mimpi-mimpi anak-anak muda Indonesia.

Infografis Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya