Liputan6.com, Jakarta - Menjadi seorang keturunan Tionghoa di Indonesia, tak dimungkiri pernah mengalami masa-masa sulit terutama menjelang berakhirnya Orde Baru. Kondisi serupa juga dialami oleh Audrey Yu Jia Hui ketika itu.
Ia menuturkan, saat itu sangat sulit untuk dianggap sebagai seorang Indonesia. Bahkan, ia mengatakan sebenarnya telah lama mencintai Pancasila, tapi selalu dianggap sia-sia karena latar belakangnya tersebut.
Sebagai informasi, Audrey merupakan salah satu dari 72 ikon berpretasi Indonesia. Ikon ini merupakan bagian dari Festival Prestasi Indonesia yang digelar oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi-Pancasila (UKP-P).
Advertisement
Berkaca dari pengalaman itu, Audrey pun memilih untuk mulai membahas soal Pancasila ke dalam sebuah buku. Dalam buku berjudul Mencari Sila Kelima, ia mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai Pancasila.
"Judul aslinya sebenarya mencari tong bao. Saya suka istilah itu yang berarti berasal dari rahim yang sama atau kompatriot," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Senin (21/8/2017) kemarin.
Baca Juga
Menurutnya, sebuah negara dapat diibaratkan sebagai ibu pertiwi. Melalui rahim ibu pertiwi itu pula, warga negara hadir sehingga sebenarnya mereka itu semuanya bersaudara.
Namun, pandangan tersebut di Indonesia saat ini hampir tak lagi ditemukan. Tak sedikit orang yang cenderung meninggikan orang lain dan merendahkan orang lain, karena sekadar masalah ketertarikan.
"Hal ini membuat bangsa Indonesia mudah dipecah belah. Dalam arti, seseorang yang menyukai satu orang tertentu, ia akan membenci orang lain. Hal ini yang membuat Indonesia sulit bersatu padu," ujarnya menjelaskan.
Ia mengatakan inspirasi buku ini ternyata berasal dari pengalamannya dalam memandang Tiongkok. Wanita berumur 29 tahun ini kagum dengan kekompakan dan rasa persatuan yang dimiliki oleh masyarakat negeri Tirai Bambu tersebut.
Berdasarkan pengamatan itu pula, ia menyebut Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan yang sama untuk menjadi besar, bahkan melebihi Tiongkok. Terlebih, Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa.
"Sebenarnya, ideologi awal Tiongkok itu kan sama dengan Korea Utara, Marxisme. Namun Tiongkok belajar dari kesalahan-kesalahannya, sehingga kini Tiongkok dan Korea Utara sudah jauh berbeda," tuturnya.
Sementara di Indonesia, Pancasila sebenarnya memiliki nilai yang mulai, tapi tak dihayati, dipraktikkan, dan diimani. Audrey lewat bukunya mengajak warga negara dapat mencintai negara, Pancasila, dan warga negara lain.
Ia pun menyebut, Indonesia saat ini sudah mulai ada perubahan ke arah lebih baik. Akan tetapi, dalam tahap ini, Indonesia memang masih berada di tahap awal, masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki.
"Dan yang perlu digarap nomor satu adalah hati kita, dalam arti apakah kita punya hati Indonesia, mencintai negara, Pancasila, dan sesama warga negara. Kita harus punya cinta tersebut agar tak mudah diprovokasi oleh pihak lain," ujarnya.
Ia pun memiliki harapan besar untuk kemajuan Indonesia ke depannya. Karena itu, ia mengajak warga negara tak kehilangan harapan untuk negara ini.
Dikenal Jenius
Selain menulis buku, Audrey juga dikenal sebagai anak yang jenius. Ia berhasil lulus dari pendidikan tinggi di umur 16 tahun dan melompati jenjang pendidikan formal di Indonesia.
Keputusan itu diambil juga tak lepas lepas dari keadaan sosial saat Orde Baru. Ketika itu, masyarakat banyak yang menunjukkan kemarahannya terhadap negara.
Ia sendiri, dalam hal ini, memilih belajar untuk melampiaskan kekesalan itu. Di samping itu, ia merasa pelajaran yang diterimanya saat sekolah menengah selalu berulang, sehingga ia memilih untuk melewatinya.
"Waktu 1998, saat berumur 10 tahun saya memilih belajar untuk melupakan kekesalan itu. Umur 11 tahun saya sudah mengambil tes SAT, semacam ujian nasional di Amerika Serikat. Untuk SMA sendiri, saya hanya mengambil sekitar 1 tahun," tuturnya.
Pada umur 13 tahun, ia berhasil masuk ke The College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat dengan jurusan fisika. Selang tiga tahun kemudian, ia pun berhasil menyandang gelar sarjana dengan predikat Summa Cum Laude.
Audrey sendiri kini berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah di Shanghai, Tiongkok. Ia mengajar bahasa inggris dan membantu mempersiapkan siswa untuk menempuh ujian SAT.
Lantas, apakah kiat Audrey bisa menempuh pendidikan dalam waktu terbilang singkat? Menanggapi hal tersebut, ia menyebut tak ada kiat khusus. Menurutnya, hal itu terjadi karena memang sudah pembawaan.
"Kalau itu tidak ada caranya, memang otaknya yang aneh. Jadi tidak ada kiat. Padahal, lahir dengan otak seperti itu enggak gampang, terutama di Indonesia yang sulit menerima orang berbeda," ujarnya mengakhiri pembicaraan.
(Dam/Cas)
Advertisement