AdBlocker Abal-Abal Tipu 20 Juta Pengguna Google Chrome

Niatnya ingin melawan iklan yang mengganggu, sayangnya 20 juta orang tertipu ekstensi pemblokir iklan di Google Chrome.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 20 Apr 2018, 08:00 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2018, 08:00 WIB
Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tidak kesal dengan iklan-iklan yang kerap menginvasi situs yang kamu kunjungi, apalagi zaman sekarang iklan di internet tidak sekadar mempromosikan produk, tetapi bisa jadi jalan masuk malware berbahaya.

Tidak pelak bila pengguna internet berinisiatif memasang ekstensi pemblokir iklan atau adblock di Google Chrome.

Naas, ternyata ada ekstensi pemblokir iklan palsu yang dapat menyedot informasi situs yang pengguna kunjungi.

Dilansir blog resmi AdGuard, Jumat (20/4/2018), terhitung ada sejumlah ekstensi Adblocker abal-abal yang tersedia untuk Google Chrome.

Kebanyakan ekstensi palsu tersebut tidak tertulis resmi dari adguard.com, melainkan memakai nama AdBlocker Team, uBlock Adblocker, dan Superblock Adblocker Team.

Jelas nama-nama tersebut digunakan untuk mengecoh pengguna yang tidak memahami tentang bedanya aplikasi asli dan palsu.

Hal itu menjelaskan kenapa pengguna tiba-tiba dapat meng-install sesuatu seperti "Adguard Hardline" atau "Adblock Plus Premium", padahal Adguard dan Adblock tidak menyediakan jenis itu.

Selain Adguard dan Adblock, ada penyedia layanan blokir iklan lain yang memakan korban. Total angka korban yang tertipu mencapai 20 juta pengguna.

Berikut daftarnya:

1. AdRemover for Google Chrome: 10 juta pengguna

2. uBlock Plus: 8 juta pengguna

3. Adblock Pro: 2 juta pengguna

Melihat situasi seperti ini, pihak Adguard mengingatkan pengguna untuk berhati-hati saat menjelajah Webstore di Google Chrome.

"Dengan keadaan saat ini, menjelajah Webstore di Chrome seperti berjalan di ladang ranjau. Jadi ini saran saya: bila kamu ingin meng-install ekstensi, pikirlah dua kali. Dan pikirkan lagi dua kali," tulis Adguard.

Adguard pun meminta agar pengguna melakukan pengecekan terlebih dulu supaya tidak terjebak produk ekstensi palsu yang berpotensi membahayakan.

Google Chrome Baru Turun Tangan

Google Chrome
businessinsider.com

Sebetulnya, kasus ini pertama kali ditemukan pada Oktober 2017 oleh akun anonim dari Twitter bernama @SwiftonSecurity yang memantau keamanan siber. (Nama Swift yang ia pakai berasal dari nama Taylor Swift.)

Pada saat pertama kali ditemukan, korban hanya 37 ribu orang, sampai akhirnya ditemukan ada 20 juta korban.

Barulah setelah Adguard merilis laporannya, Google Chrome akhirnya baru turun tangan pada Selasa (18/4/2018), di mana mereka mencekal semua ekstensi palsu tersebut.

Sampai saat ini belum ada keterangan resmi dari Chrome mengenai kasus ini.

Saatnya Memahami Pentingnya Privasi dan Data

Ilustrasi aktivitas menggunakan smartphone (AFP)
Ilustrasi aktivitas menggunakan smartphone (AFP)

Munculnya ekstensi palsu ini dipakai untuk mengumpulkan data terkait aktivitas pengguna di internet. Tidak jelas apa yang akan dilakukan dengan data pengguna, meskipun tindakan seperti itu sering berujung pada penjualan data tanpa izin pengguna.

Melihat kasus ini, dan mengingat kasus Cambridge Analytica dan penyalahgunaan data lainnya, ada baiknya jika publik memakai kesempatan ini untuk meningkatkan kesadaran perihal privasi dan informasi yang mereka tampilkan di internet.

Coba mulai dengan hal sederhana, seperti jangan asal mem-posting informasi pribadi tentang keluarga, karena rentan dipakai orang jahat. Contohnya, untuk penipuan.

Para perusahaan atau institusi yang meminta data pribadi orang-orang juga wajib memahami tanggung jawab yang mereka punya. Bila data pribadi tersebut jatuh ke tangan orang jahat, maka bisa timbul kerugian finansial bagi orang yang datanya bocor.

Facebook pun sekarang pusing karena tidak melindungi data pengguna dengan komprehensif.

Baru-baru ini, Uni Eropa siap menerapkan General Data Protection Regulation (Regulasi Perlindungan Data Umum, GDPR) yang memiliki isi yang komprehensif dan pro terhadap data-data masyarakat. Facebook pun dipaksa untuk ikut aturan GDPR di Eropa.

Sayangnya, Facebook tidak akan menerapkan GDPR di seluruh dunia, padahal aturan Uni Eropa tersebut sangatlah ganas dalam melindungi data seseorang.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah menyiapkan RUU Perlindungan Data Pribadi, sayangnya sampai sekarang belum diprioritaskan oleh DPR.

Hal itu tentu disayangkan, karena Indonesia tidak bisa terus-terusan mengandalak UU ITE yang notabene adalah pasal karet, padahal isu perlindungan privasi dan data tidak hanya sebatas tentang pencemaran nama baik.

(Tom/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya