Liputan6.com, Jakarta - Melihat kemelut yang belum lama ini terjadi di dunia aset kripto, SwipeCrypto, upaya rintisan monetisasi keterlibatan aplikasis seluler, menawarkan model baru dalam menghargai setiap bit informasi yang dihasilkan oleh pengguna aplikasi.
Berbeda dengan model interaksi yang terjadi selama ini, di mana lalu lintas data terkumpul pada satu pangkalan data yang dikuasai hanya oleh segelintir pihak, SwipeCrypto memungkinkan tata kelola bagi hasil biaya iklan yang lebih transparan dan terdesentralisasi.
Baca Juga
Model monetisasi data yang ada saat ini pada umumnya tidak memberikan imbalan apa pun kepada pengguna aplikasi sebagai "sumur minyak" baru dalam ekonomi data.
Advertisement
Pengguna aplikasi yang secara terus menerus menerbitkan data, juga tidak tahu siapa dan untuk apa data tersebut kemudian digunakan.
Padahal, seringkali data-tersebut bersifat sensitif atau rahasia. Pembuat aplikasi pun seringkali kesulitan dalam mendapatkan bagi hasil atas aplikasi yang dibuatnya karena tidak terintegrasinya sistem dengan gerbang pembayaran.
Sementara itu, konsumen data yang biasanya adalah korporasi yang memerlukan data pemasaran, tidak mendapatkan jaminan integritas asal muasal data sehingga tidak jarang program kampanye pemasaran yang terkait dengan data-data tersebut menjadi salah sasaran.
SwipeCrypto mengumpulkan pengguna aplikasi, pengembang aplikasi, mitra pasar data, dan korporasi sebagai pembeli data ke dalam satu buku besar terdistribusi. Demikian menurut keterangan SwipeCrypto yang diterima Tekno Liputan6.com pada Minggu (19/5/2019).
Dengan memiliki tujuan nyata yang bermanfaat bagi banyak pihak, maka SwipeCrypto dapat memiliki tempat tersendiri pada lanskap baru ekosistem aset kripto.
Proyek ini tidak semata-mata menjanjikan imbal hasil yang menggiurkan bagi para investor utama, para pemodal privat maupun publik namun lebih kepada penggalangan urun dana (crowdfunding) untuk pengembangan teknis wahana monetisasi data yang lebih transparan.
Alokasi penjualan token yang hanya 25 persen menjadi bukti bahwa proyek ini tidak sekadar mencari keuntungan dari kenaikan harga token namun ada porsi komitmen besar dari pengembang agar proyek ini bisa berjalan dengan baik dan berkesinambungan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ekosistem Perdagangan Aset Kripto Mulai Pulih
Kemelut berkepanjangan di dunia aset kripto kini pun berangsur-angsur membaik dalam waktu bersamaan.
Tercatat, sekarang harga Bitcoin kembali menembus angka psikologis di nominal Rp 100 juta. Forum-forum diskusi perdagangan aset kripto pun mulai ramai kembali karena munculnya gelombang optimisme baru yang berembus.
Banyak pengamat berpendapat, kalau harga aset kripto tak akan fluktuatif dengan melejit cepat seperti yang terjadi pada akhir 2017 untuk lalu menukik tajam di awal 2018. Namun, perlahan tapi pasti harga berangsur-angsur membaik.
Hal ini menjadi pembuktian bahwa ekosistem perdagangan aset kripto memang berbeda dengan demam batu akik atau gelombang cinta yang tidak pernah kembali berjaya lagi setelah harganya tersungkur.
Bitcoin pun bangkit dari 'hempasan badai' krpito karena memang dominasinya mencapai 58,7 persen, jika ditandingkan dengan kapitalisasi pasar dari ribuan koin/token lainnya.
Ethereum bersama dengan banyak proyek turunannnya bertengger di posisi kedua dan menjadi favorit para pengembang teknologi blockchain karena sifatnya yang luwes dan adanya dukungan penuh dari komunitas yang tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Sementara itu, di posisi ketiga ada Ripple yang sudah mulai diujicobakan oleh beberapa bank untuk menjalankan transaksi pengiriman uang (remmitance).
Advertisement
Aset Kripto Memiliki Landasan Hukum
Harapan pun muncul dari pihak berwenang, seperti pemerintah berbagai negara termasuk Indonesia.
Pada mulanya, segala bentuk koin digital dipandang semata–mata sebagai ancaman bagi keberadaan rupiah sehingga dilarang untuk diperdagangkan.
Awal 2019 ini merupakan titik balik di mana pemerintah melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengakui keberadaan aset kripto sebagai komoditas yang dapat dibeli dan dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Dengan demikian, perusahaan penukaran aset kripto di Indonesia kini memiliki landasan hukum untuk beroperasi secara sah di republik ini.
Perubahan lanskap tersebut, tentu perlu disambut secara positif sebab perdagangan aset kripto bukan lagi merupakan spekulasi isapan jempol tanpa dasar, tetapi sudah merupakan upaya bersama untuk memperbaiki tata dunia yang lebih adil, transparan dan bermanfaat bagi lebih banyak pihak.
Proyek–proyek rintisan teknologi blockchain yang terkait erat dengan perdagangan aset kripto menyisakan hanya mereka yang memang punya tujuan besar dan mulia untuk memberi nilai lebih bagi masyarakat.
Mereka yang menerbitkan koin karena semata–mata ingin cepat kaya, turut 'terhempas'. Seiring dengan membaiknya tingkat edukasi masyarakat pada umumnya maka koin–koin “micin” tersebut mulai ditinggalkan. Demam ICO pun boleh dibilang mulai berakhir dan digantikan oleh proyek–proyek yang bermanfaat nyata.
(Jek/Isk)