Liputan6.com, Jakarta - Pemutusan lisensi kerja sama antara Google dengan Huawei terkait dengan Android mendapatkan sorotan dari berbagai pihak termasuk pengguna.
Pengamat gadget Indonesia, Lucky Sebastian, berpendapat pemutusan kerjasama antara Google dengan Huawei berdampak besar, terutama karena smartphone Huawei nantinya tidak akan bisa menggunakan layanan Google langsung, melainkan AOSP alias Android Open Source Project.
Advertisement
Baca Juga
"Android itu basisnya open source, jadi bisa tetap digunakan. Hanya yang bertalian dengan produk layanan Google seperti Play Store, Gmail, Google Maps, dan sebagainya, tidak bisa digunakan," kata Lucky kepada Tekno Liputan6.com via pesan teks.
Sementara menurut Lucky, bagi pasar Tiongkok, pemutusan kerja sama lisensi Google dengan Huawei tidak berdampak apapun.
Pasalnya di Tiongkok tidak sebetulnya memang tidak ada yang menggunakan layanan Google, karena layanan Google di sana memang dilarang pemerintah. Tak cuma Google, layanan teknologi asal AS seperti Facebook, WhatsApp, dan lainnya juga diblokir.
"Cuma kan sekarang pasar smartphone Huawei sudah global, ini akan berdampak di luar Tiongkok," tandas pendiri komunitas ID-Android dan Gadtorade ini.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Berdampak ke Pasar Global dan Perangkat yang Belum Rilis
Lucky meyakini, pasar global Huawei bisa terdampak pemutusan kerja sama lisensi Android ini. Hal ini karena pasar global Huawei di luar Tiongkok sudah sangat mengandalkan layanan Google.
Ia menilai, tidak mudah mengubah kebiasaan ini, apalagi kebanyakan pengguna Android di luar Tiongkok sudah sangat bergantung dengan layanan Google.
Terkait kapan dampak tersebut mulai dirasakan pengguna, Lucky mengungkap dampaknya justru akan terasa pada perangkat terbaru dari Huawei dan Honor.
"Secara produk dan hardware, memang dikatakan Huawei sudah punya stok beberapa bulan ke depan untuk menghadapi kalau sampai ditendang oleh AS, tetapi masalah software memang agak repot ya. Dampak ini akan terasa pada next product dari Huawei atau Honor, kalau sampai berkepanjangan pemblokirannya," jelas Lucky.
"Mungkin tidak secepat seperti waktu ZTE di-ban oleh Amerika, karena ZTE benar bergantung pada chip buatan Amerika seperti Qualcomm dan lainnya, tetapi Huawei lebih siap di sisi hardware. Cuma sisi software ini saya pikir malah lebih sulit dibanding hardware," katanya, memberi penjelasan.
Advertisement
Pengguna Bisa Lirik Smartphone Merek Lain
Kesulitan pada masalah software perusahaan juga digambarkan Lucky dalam sebuah contoh, pada sisi PC atau laptop, di mana banyak yang sudah terbiasa dengan Microsoft Windows disuruh beralih ke Linux juga gagal.
Walau nantinya dari sisi dasar Android tetap akan sama bisa digunakan, tetapi layanan Google ini menurutnya sudah mengakar. Hal ini karena banyak yang menggunakan Android, tidak hanya di sisi smartphone Android saja, tapi juga menggunakan akun yang sama di PC untuk browser dan banyak layanan Google, untuk email, untuk mesin pencari, dan lainnya.
Lucky menegaskan, hal tersebut jelas tidak akan mudah mengubah kebiasaan pengguna.
"Memang dimungkinkan dengan sideload layanan Google seperti pada custom ROM, cuma ini secara business to business tidak bisa dilakukan oleh brand-nya langsung, harus oleh pengguna sendiri atau pihak ketiga, yang sepertinya untuk pasar global atau Eropa akkan menjadi andalan Huawei untuk membuat orang lebih melirik ke brand lain dibanding repot," tutur Lucky.
Di mata Lucky, pengembangan software Android untuk bisa optimal pada hardware juga biasanya menjadi kerjasama kedua belah pihak antara Google dan brand. Tanpa kerjasama ini, bisa saja optimalisasi perangkat akan lebih butuh waktu.
"Kalau ribut berkepanjangan (antara Huawei dengan AS) akan repot, karena sekarang ini semuanya sudah berlaku global, semua sudah saling terhubung dan saling tergantung. Bukan hanya Huawei yang rugi sebenarnya, tetapi termasuk dari pihak di AS sendiri, dan pelanggan tentunya," tutupnya.
(Tin/Jek)