Keputusan Pemerintah AS Blokir WeChat Berimbas ke Apple, Kok Bisa?

WeChat dianggap pemerintah AS berbagi data pengguna dengan pemerintah Tiongkok.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 10 Agu 2020, 09:48 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2020, 09:48 WIB
Ilustrasi WeChat
Ilustrasi WeChat (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengeluarkan Perintah Eksekutif (Executive Order) yang melarang perusahaan AS berbisnis dengan WeChat.

Keputusan itu diambil sebab WeChat dianggap berbagi data pengguna dengan pemerintah Tiongkok.

Meski dampaknya belum terasa, menurut sejumlah analisis, larangan itu ternyata akan berimbas pula pada perusahaan Amerika Serikat, yakni Apple. Alasannya, ada kemungkinan Apple tidak boleh lagi mendistribusikan WeChat melalui App Store.

Menurut analis Bloomberg Intelligence, Anand Srinivasan, apabila hal itu benar-benar dilakukan, Apple akan kehilangan pengguna cukup banyak, terutama di wilayah Tiongkok yang memang menjadi salah satu pasar besar bagi perusahaan tersebut.

Dkutip dari Phone Arena, Senin (10/8/2020), hal itu dapat terjadi sebab WeChat menjadi salah satu aplikasi utama di Tiongkok. Banyak pengguna iPhone memakainya untuk mengirimkan email, berbelanja, menjelajah internet, hingga melakukan pembayaran.

Oleh sebab itu, apabila WeChat dihapus dari App Store, besar kemungkinan para pengguna Tiongkok akan beralih ke perangkat lain. Sebagai informasi, Tiongkok sendiri menyumbang 20 persen penjualan iPhone secara global.

Dengan kondisi tersebut, penjualan Apple dipastikan akan terpengaruh. Terlebih, dari salah satu data terbaru dari forum online Tiongkok, banyak pengguna memilih tidak memakai iPhone, ketimbang tidak dapat memakai WeChat, apabila aplikasi tersebut benar-benar menghilang dari App Store.

Untuk sekarang, belum diketahui seperti apa respons Apple terkait adanya perintah eksekutif ini. Begitu juga dengan WeChat yang masih belum memberikan tanggapan terkait hal ini.

Bakal Diblokir di AS, TikTok Siap Tempuh Jalur Hukum

ilustsrasi aplikasi TikTok.
ilustsrasi aplikasi TikTok. (iStockphoto)

Selain WeChat, layanan lain yang juga mendapat Perintah Eksekutif adalah TikTok. Aplikasi itu diberi waktu selama 45 hari untuk menghentikan layanannya di Amerika Serikat atau mencari pemilik baru untuk dapat menggulirkan layanan di negara tersebut.

Menyusul keputusan tersebut, TikTok mengatakan tudingan yang ditujukan pada mereka tidak berdasar. Mereka menegaskan tidak membagi data pengguna dengan pemerintah Tiongkok, termasuk memberlakukan sensor konten.

Terlebih, TikTok saat ini berupaya untuk menjual bisnis mereka di Amerika Serikat pada perusahaan lokal. Karenanya, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (8/8/2020) layanan milik ByteDance tersebut akan mengupayakan jalur hukum menanggapi perintah tersebut.

"Kami akan mencoba semua upaya hukum yang tersedia untuk memastikan tidak ada aturan yang diabaikan dan perusahaan kami termasuk penggguna diperlakukan secara adil," tutur TikTok. Namun hingga sekarang, belum ada informasi mengenai langkah perusahaan selanjutnya.

Sebagai informasi, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, setuju memberikan ByteDance waktu 45 hari untuk bernegosiasi menjual TikTok kepada Microsoft. Informasi ini berasal dari tiga sumber Reuters yang mengetahui hal tersebut.

Dilansir Reuters, Senin (3/8/2020), pemerintah AS mengatakan TikTok di bawah kepemilikan perusahaan Tiongkok menimbulkan risiko keamanan data pribadi. ByteDance merupakan perusahaan teknologi asal Tiongkok, yang berbasis di Beijing.

Upaya Microsoft Beli TikTok

Ilustrasi TikTok, Aplikasi TikTok.
Ilustrasi TikTok, Aplikasi TikTok. Kredit: antonbe via Pixabay

Menyusul diskusi antara Trump dan CEO Microsoft, Satya Nadella, perusahaan melalui sebuah pernyataan pada Minggu mengatakan, akan melanjutkan negosiasi untuk mengakuisisi TikTok. Kesepakatan diperkirakan tercapai pada 15 September 2020.

Menurut sumber, Trump mengubah keputusannya setelah tekanan dari beberapa penasihat dan anggota Republik.

Memblokir TikTok disebut dapat mengurangi dukungan dari pengguna muda menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada November mendatang. Selain itu, juga ada kemungkinan memicu gelombang tantangan hukum.

(Dam/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya