Ini Deretan Pasal Multitafsir yang Perlu Dihapus dari UU ITE Menurut SAFEnet

Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto mengatakan pihaknya siap berbicara membahas beragam persoalan yang ada di UU ITE.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 16 Feb 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2021, 19:30 WIB
Ilustrasi penggunaan internet
Kepraktisan internet membuat penggunanya jadi lebih mudah untuk mengakses segala informasi

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto mengatakan dirinya mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan revisi UU ITE.

Damar menuturkan, rencana ini mungkin tidak lepas dari pernyataan Jokowi yang meminta kritik dari masyarakat. Karenanya, rencana revisi UU ITE menjadi langkah memperbaiki regulasi yang menghambat kritik. 

Kendati demikian, menurut Damar, wacana tersebut perlu ditindaklanjuti agar dapat terwujud dan UU ITE bisa benar-benar menjadi undang-undang yang baik.  

"Saya mengapresiasi niatan tersebut (revisi UU ITE). Tinggal sekarang kuncinya adalah bagaimana mendorong itu bisa terwujud," tuturnya saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Damar mengatakan SAFEnet sendiri sebenarnya daftar sejumlah pasal utama yang bermasalah di UU ITE. Pasal-pasal ini dianggap multitfafsir dan memiliki duplikasi hukum.

"Karenanya, kami menganggap pasal-pasal ini pantas dihapuskan dari UU ITE," ujarnya. Adapun pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29.

Selain itu, ada pula kelompok pasal yang rawan disalahgunakan, seperti Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a dan 2b, maupun Pasal 45.

"Jadi, karena ini rawan disalangunakan, bunyinya harus diperbaiki," ujar Damar melanjutkan.

Ia juga mengatakan SAFEnet bersedia melakukan pertemuan untuk membahas persoalan di UU ITE. Dengan begitu, mereka dapat membicarakan persoalan tidak hanya sisi hukum, tapi juga dampaknya. 

"Dalam riset CSIS pada 2018, UU ITE itu dianggap telah melenceng dari niatan awal atau original intent-nya. Dan, sekarang telah menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences)," tutur Damar melanjutkan.

Dampak UU ITE

ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara | pexels.com/@padrinan

Dampak dari UU ITE mencakup dampak politik dan dampak sosial. Damar menjelaskan, dampak politik UU ITE misalnya adalah politisi atau kekuasaan memakainya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

Sementara dampak sosial dari UU ITE ini dapat merobek jalinan sosial. Sebab dengan UU ini, masyarakat lebih mudah melaporkan orang lain dengan berbagai motif, seperti balas dendam, barter kasus, efek terapi kejut, hingga mempersekusi orang yang berbeda pendapat.

Selain kedua dampak itu, Damar mengatakan sebenarnya ada pula efek jeri atau chilling effect yang dihasilkan oleh UU ITE. Hal ini terjadi karena UU ITE memiliki efek hukuman yang berat dan menimbulkan rasa takut.

"Temuan Koaliasi Masyarakat Sipil memperlihatkan tingkat hukuman (conviction rate) UU ITE sangat tinggi mencapai 96,8 persen. Itu artinya orang yang terjerat UU ITE pasti dihukum," tuturnya melanjutkan.

Sementara dari orang yang terjerat UU ini, 88 persen itu masuk penjara. Untuk itu, perlu dilakukan dialog sehingga pemerintah melek bahwa persoalannya tidak sederhana.

Tidak hanya itu, topik lain yang juga perlu dibicarakan selama pembahasan soal revisi UU ITE adalah kasus-kasus yang yang sedang berjalan. 

Damar mengatakan, apakah ada kemungkinkan lebih selektif tidak memproses kasus dengan gugatan UU ITE atau Mahkamah Agung membuat surat edaran penghentian kasus selama upaya revisi UU ITE ini berlangsung.

"Sehingga kita bisa perbaiki bareng-bareng UU ITE agar lebih tepat, lebih baik. Dan yang paling utama sebetulnya objektif atau tujuan dari revisi ini tidak semua-semuanya diatur pakai UU ITE," ujarnya.

Alasannya, Damar menuturkan ranah siber itu memerlukan undang-undang lain, seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Keamanan Siber, atau UU soal netralitas jaringan sehingga tidak ada praktik diskriminatif.

"Lalu perlu juga didorong persoalan internet ini melulu hanya pengaturan di regulasi, tapi menyiapkan masyarakatnya bisa teredukasi secara baik," ujarnya lebih lanjut.

Jaminan dalam UU ITE

Damar juga mengatakan salah satu kekurangan yang ada di UU ITE saat ini adalah miskin jaminan. Padahal menurutnya, undang-undang yang baik itu bisa memberikan jaminan bagi masyarakat.

"Misalnya, menjamin warga negara mendapatkan akses internet, lalu memberikan jaminan lebih pasti lagi untuk hak berekspresi, lalu jaminan hak untuk merasa aman," tutur Damar.

Jaminan itu yang diharapkan nantinya bisa diimplementasikan lebih baik lagi ke UU ITE. Sebab, aspek jaminan itu yang absen pada UU ITE saat ini.

"Yang kuat dalam UU ITE kita, soal transaksi elektronik terutama. Dan yang kedua, soal pembatasan hak. Sementara jaminan tidak terlalu banyak ditulis," ucapnya.

(Dam/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya