Pengamat Sebut UU ITE Perlu Revisi Total

Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan UU ITE memang sebaiknya direvisi total mengingat pasal di dalamnya multi tafsir.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 16 Feb 2021, 13:11 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2021, 13:10 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan ucapan selamat kepada Nahdlatul Ulama (NU) di peringatan hari lahir (harlah) ke-95 salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut pada Sabtu, 30 Januari 2021. (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman mengatakan insiatif Jokowi merevisi UU ITE (UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi UU) karena mendengar kritikan dari masyarakat.

Untuk itu, Jokowi ingin UU ITE bisa memberikan rasa keadilan pada seluruh masyarakat. "(Dari) Masukan juga kritik dari masyarakat," ucap Fadjroel pada Liputan6.com.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan UU ITE memang sebaiknya direvisi total. Heru beralasan, meski sebelumnya sudah pernah direvisi, masih banyak masyarakat yang mendekam di penjara karena pasal di UU tersebut yang ditafsirkan seenaknya.

Terlebih, kelahiran UU ITE dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik. Jadi, UU ini diharapkan dapat menjawab persoalan kejahatan siber, seperti hacking, cracking, dan crading.

"Namun dalam perjalanannya, UU ini laksana UU sapujagad yang dapat dipakai untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik," tutur Heru saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).

Dia mencontohkan kasus Prita Mulyasari yang harus berurusan dengan pengadilan karena dianggap mencemarkan rumah sakit sebab dia melakukan komplain terhadap layanan di tempat itu.

"Dan, meski UU ITE No.11/2008 kemudian direvisi menjadi UU ITE No.19/2016, penggunaan pasal pencemaran nama baik tidak juga berkurang," kata dia melanjutkan.

Hal lain yang juga penting disoroti, penerapan pasal 27 ayat 3 kerap dialihkan menjadi Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2. Pasal 27 ayat 3 telah dikurangi hukumannya menjadi maksimal empat tahun dari sebelumnya enam tahun.

Sementara Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2 masih memiliki ancaman hukuman enam tahun. Karena itu, dengan memanfaatkan isu penyebaran kebencian atau hoaks, orang dapat mudah dibidik dengan pasal 28.

Padahal, Pasal 28 ayat 1 mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Sementara ayat 2 di pasal itu menyangkut ujaran kebencian berdasarkan SARA.

Namun dalam praktiknya, pasal ini bisa dikenakan pada siapa pun yang dianggap menyebarkan berita bohong, meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta orang yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian walau tidak menyangkut SARA.

"Revisi sebagian yang dilakukan dari UU ITE No.11/2008 ke No.19/2016 menyebabkan pasal 28 ini tidak mendapat perhatian serius," ujar Heru menegaskan.

Atas dasar hal itu, UU ITE terindikasi dapat menjadi undang-undang yang dapat dipakai untuk semua hal yang dikhawatirkan tidak berdasar, seperti tuduhan penyebaran fitnah, ujaran kebencian atau berita bohong.

"Muaranya adalah pembatasan kritik, kebebasan berbicaran, dan pengungkapkan kebenaran, seperti terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Maka agar UU ITE tidak menjadi 'penjara' demokrasi, UU ini jangan dipakai dulu sampai revisi total diselesaikan," tutur Heru.

Fokus ke Topik Utama

Membiasakan Diri Berbelanja Menggunakan E-Commerce
Ilustrasi Belanja Online Credit: pexels.com/NegativeSpace

Heru menambahkan, mengingat saat ini juga ada pembahasan UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) yang beririsan dengan UU ITE, UU ITE memang sebaiknya direvisi total.

"Maka, UU ITE baiknya direvisi total dan nanti fokusnya bagi pengembangan ekonomi digital. Bahkan mungkin undang-undanganya jangan lagi ITE, tapi menjadi UU Ekonomi Digital," ujarnya melanjutkan.

Sementara untuk pasal yang terkait pencemaran nama baik, Heru mengatakan dapat sementara dikembalikan ke KUHP atau penafsiran terhadap UU ITE ini harus sebagaimana mestinya, tidak boleh dibelokkan.

"Penggunaannya dimaknai sesuai UU-nya. Jangan semua aduan hoaks dan ujaran kebencian [yang] masuk diproses [secara hukum]. Kalau peluang multitafsir masih besar, ya mau tidak mau UU ITE harus direvisi total," kata Heru mengakhiri.

 

Laporan Koalisi Masyarakat Sipil

Berdasarkan keterangan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Februari 2020, kasus dengan pasal 27, 28, dan 29 dari UU ITE memiliki conviction rate 96,8 persen (744 perkara).

Tingkat pemenjaraannya juga sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

Sementara laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi menggunakan pasal karet yang cenderung multitafsir untuk membungkam suara kritis.

Adapun sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, prodemokrasi, penyelematan lingkungan, dan kebebasan informasi juga menjadi sasaran utama.

(Dam/Why)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya