Kata Pengamat Soal Ramainya Barang Impor dari Mr Hu di E-commerce

Peneliti INDEF Nurul Huda berbicara mengenai ramainya produk impor yang hadir di platform e-commerce Indonesia.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 24 Feb 2021, 23:55 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2021, 12:14 WIB
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online. Kredit: athree23 via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Twitter sempat diramaikan tagar #ShopeeBunuhUMKM. Usut punya usut, tagar itu ternyata bermula dari percakapan sejumlah pengguna Twitter yang membahas soal penjual di Shopee bernama Mr Hu.

Isu ini pun lantas memantik diskursus tentang persaingan antara produk asal China dengan produk asal UMKM lokal. Salah satunya adalah Tirta Hudhi yang menyoroti harga produk asal Cina lebih murah daripada produk lokal.

Dia menuturkan, banyak transaksi asal Cina tersebut merupakan kebutuhan sehari-hari yang dibeli konsumen Indonesia. Transaksi eceran lintasan negara ini, menurut Tirta, dapat membahayakan kelangsungan UMKM.

Menyoroti hal tersebut, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nurul Huda mengatakan hal ini dapat terjadi karena karakteristik konsumen digital Indonesia yang rasional terhadap harga atau price oriented consumer.

"Konsumen bisa mengecek harga di toko satu ke toko lain, di platform satu ke platform lainnya. Jadi, mereka akan memilih toko yang menawarkan produk dengan harga termurah, baik dari harga atau ongkirnya," tutur pengamat ekonomi tersebut saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Kamis (18/2/2021).

Karakteristik ini, menurut Huda, dilihat oleh platform e-commerce atau penjual asing yang berasal dari negara lain agar bisa mudah masuk pasar domestik Indonesia.

Selain itu, pasar domestik Indonesia juga sangat menggiurkan dengan pertumbuhan kelas menengah dan generasi pengguna gadget yang sangat pesat.

Sementara karakteristik UMKM Tanah Air adalah labor intensif, yaitu biaya untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan biaya lainnya. Akibatnya, Huda menuturkan, UMKM tidak efisien dan kalah saing dari sisi harga.

"Sebenarnya sangat miris melihat proporsi produk UMKM lokal kita yang hanya 4 hingga 5 persen saja di pasar e-commerce. Namun melihat karakteristik konsumen kita, ya mereka sangat wajar memilih harga yang lebih murah. Bahkan bisa free ongkir dari platform," tuturnya.

Tindakan Platform Lokal

Membiasakan Diri Berbelanja Menggunakan E-Commerce
Ilustrasi Belanja Online Credit: pexels.com/NegativeSpace

Di sisi lain, Huda mengatakan platform lokal juga tidak membatasi begitu saja barang impor, sebab mereka harus mengejar konsumen agar bisa memperoleh pendanaan.

"Mereka mau tidak mau juga harus melihat keinginan konsumen. Berat bagi platform jika harus memberikan restriksi khusus barang impor," tuturnya melanjutkan.

Untuk itu, Huda menuturkan hal yang bisa dilakukan platform lokal adalah memberikan ruang khusus bagi produk UMKM lokal, tanpa menghambat produk impor.

"Memberikan space khusus bisa dengan cara memberikan iklan produk UMKM ataupun space di halaman awal di situs/apps platform e-commerce," ucapnya.

Lantas, kapan pelaku UMKM Indonesia bisa menjadi juara di dalam negeri? Menjawab pertanyaan tersebut, Huda menuturkan hal itu bisa dilakukan jika pelaku UMKM bisa melakukan efisiensi.

Namun hal itu juga bisa terjadi jika ada perubahan karakteristik konsumen yang sangat signifikan, seperti dari price oriented menjadi unique oriented.

"Sebenarnya sudah terjadi di beberapa kalangan komunitas dimulai dengan fashion. Beberapa komunitas kan sekarang nampaknya bangga mengenakan fashion buatan tangan lokal. Namun jumlahnya tidak seberapa juga," tuturnya menjelaskan.

Regulasi di Indonesia

Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online

Sementara dari sisi regulasi, Huda juga menilai peta jalan e-commerce tidak berjalan optimal. Dia mengatakan penyebab utamanya adalah tidak adanya kekuatan pemerintah dalam mengumpulkan data transaksi e-commerce berdasarkan karakteristik tertentu.

"Kalau tidak ada data, bagaimana kita bisa menentukan strategi yang optimal. Selain itu, regulasi untuk peningkatan UMKM juga sangat terbatas dan kadang tidak sinkron dengan karakteristik konsumen," ujarnya mengakhiri pembicaraan.

(Dam/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya