Liputan6.com, Jakarta - Dalam satu dekade lebih, teknologi berubah dengan sangat cepat, tak terkecuali di Indonesia. Itu tecermin dari pertumbuhan pengguna internet, serta volume data yang naik secara drastis.
Perusahaan riset pasar International Data Corporation (IDC) memperkirakan, jumlah kolektif data dunia akan tumbuh dari 33 Zettabytes pada 2018 menjadi 175 Zettabytes pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 61 persen. Itu akan berdampak pada seluruh infrastruktur teknologi telekomunikasi, yang pada dasarnya mengikuti kecepatan akses dan volume data.
Baca Juga
VP Business Intelligence & Analytics Telkomsel Tina Lusiana mengamini bahwa saat ini tidak hanya volume data yang bertambah semakin masif setiap tahun, tetapi juga data dihasilkan semakin cepat.
Advertisement
Mengutip laporan We Are Social pada Januari 2021, Tina menyebutkan bahwa di Indonesia tidak hanya pengguna internet yang bertumbuh, tetapi juga jumlah perangkat mobile terkoneksi melonjak.
“Selanjutnya terus berpikir keras, kita juga menggunakan teknologi AI and Automation untuk mengefisiensikan resource [sumber daya], serta memastikan semua solusi yang kita bangun selalu aman,” kata Tina dalam Katadata Forum Virtual Series ‘Mengantisipasi dan Memanfaatkan Ledakan Data’, pada Kamis (22/7/2021).
Juga diakui perlu mengatur lonjakan data yang ada saat ini. Koordinator Sekretariat Satu Data Indonesia (SDI) Oktorialdi Ilyas menyebut, kehadiran aplikasi penghasil data yang tersebar pada instansi, baik di pusat maupun daerah dan tidak saling terhubung, mengakibatkan beberapa hal.
Antara lain inefisiensi dan redundansi, kesulitan dalam mencari data, serta menyulitkan dalam menyusun kebijakan yang holistik dan integratif.
Oktorialdi menyatakan, setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi SDI dalam menghadapi lonjakan data, yaitu tantangan teknis dan nonteknis.
Tantangan
Tantangan teknis seperti kesiapan infrastruktur yang beragam, banyaknya aplikasi penghasil data yang belum dikelola secara terintegrasi, beragamnya referensi dan standar data, serta metodologi tata kelola data yang belum terstandar.
Sementara itu, tantangan nonteknis meliputi ego sektoral, ekosistem regulasi dan kelembagaan yang kompleks, tingkat pemahaman kebijakan satu data yang belum cukup, serta kecenderungan keraguan antar instansi pemerintah untuk berbagi akses data.
“Tantangan ini jadi masalah. Kalau kita lihat data dari Kominfo itu ada 27 ribu aplikasi di semua unit kerja, yang ada di pusat dan daerah, yang mempunyai aplikasi sendiri-sendiri, kumpulkan data sendiri, yang tidak bisa dipakaikan. Belum lagi substansi, dalam arti bagaimana pengertian kita terhadap satu konsep tentang data. Itu bisa ratusan konsep yang harus kita samakan,” ujar Oktorialdi.
Advertisement
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019
Maka dari itu, Oktorialdi menegaskan, SDI hadir untuk mengatur penyelenggaraan tata kelola data yang dihasilkan oleh instansi pusat dan daerah, guna mendukung perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
Seluruh kumpulan data yang tersedia dalam Portal Satu Data Indonesia dapat diakses secara terbuka dan dikategorikan sebagai data publik, sehingga tidak mengandung informasi yang memuat rahasia negara, rahasia pribadi, atau hal lain sejenisnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Jadi kita di sini di pemerintahan mulai step by step, ada data-data statistik, ada data parsial, data keuangan negara, kemudian arahnya adalah data spasial, untuk memanfaatkan data-data yang ada di dalam Big Data pemerintah,” tutur Oktorialdi.