Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di bidang seni masih menimbulkan perdebatan, termasuk di dunia fotografi.
Beberapa waktu lalu, sebuah kontes fotografi bergengsi bahkan memenangkan gambar buatan AI, meski seniman asal Jerman yang menciptakannya menolak hadiah yang diberikan.
Baca Juga
Dalam kompetisi fotografi Sony World Photography Awards yang digelar World Photography Organization, sebuah gambar berjudul The Electrician buatan Boris Eldagsen, memenangkan hadiah pertama untuk kategori Kreatif, meski bukan foto asli.
Advertisement
Eldagsen pun menolak penghargaan tersebut. Ia pun mengakui sengaja melakukan itu, sebagai bentuk kampanyenya yang menyatakan AI bukan bagian dari fotografi.
"Saya mengajukan... untuk mencari tahu apakah kompetisi disiapkan untuk gambar AI diikutsertakan. Ternyata mereka tidak," kata Eldagsen, seperti dikutip dari Engadget, Minggu (23/4/2023).
Gambar Eldagsen merupakan bagian dari seri PSEUDOMNESIA: Fake Memories, yang dirancang untuk membangkitkan gaya fotografi tahun 1940-an. Namun, mereka adalah "kenangan palsu dari masa lalu, yang tidak pernah ada, yang tidak difoto oleh siapa pun."
Gambar-gambar ini pun diimajinasikan oleh bahasa dan diedit ulang sekitar 20 hingga 40 kali, melalui pembuat gambar AI. Kreatornya menggabungkan teknik inpainting, outpainting dan prompt whispering.
Melalui blog-nya, Eldagsen menjelaskan ia memakai pengalamannya sebagai fotografer, untuk membuat gambar yang jadi juara tersebut. Meski gambar itu terinspirasi fotografi, inti dari pengajuannya adalah bukan fotografi.
"Berpartisipasi dalam panggilan terbuka, saya ingin mempercepat proses penyelenggara Penghargaan untuk menyadari perbedaan ini dan membuat kompetisi terpisah untuk gambar yang dihasilkan AI," kata Eldagsen.
Tidak Mau Terima Penghargaan
Walau menolak, Eldagsen tetap berterima kasih penyelenggara sudah memilih gambarnya, serta menjadikan momen tersebut bersejarah. Sebab, karyanya tersebut jadi gambar buatan AI pertama yang menang di kompetifi fotografi internasional.
"Gambar AI dan fotografi seharusnya tidak bersaing satu sama lain dalam penghargaan seperti ini. Mereka adalah entitas yang berbeda. AI bukanlah fotografi. Bagaimana pun saya tidak akan menerima penghargaan."
Usai pengakuan oleh Eldagsne, gambar itu lalu dicabut dari situs web acara dan kompetisi. Lalu, World Photography Organization mengecam aksi Eldagsen melalui pernyatannya.
Kepada Gizmodo, mereka mengatakan Eldagsen mengklaim "pembuatan bersama" gambar tersebut terkait hubungannya dengan AI, sebelum menang.
"Mengingat tindakan dan pernyataan lanjutan yang mencatat usahanya disengaja untuk menyesatkan kami, dan karena itu membatalkan jaminan yang dia berikan, kami tidak lagi merasa bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dan konstruktif dengannya," katanya.
Advertisement
Peneliti Temukan ChatGPT Bisa Buat Malware Canggih
Sebelumnya, potensi penyalahgunaan ChatGPT ini kian meningkat sebab mampu membuat malware berbahaya dan tidak terdeteksi anti virus.
Hal ini dibuktikan oleh seorang peneliti keamanan Forcepoint, Aaron Mulgrew, dengan meminta alat kecerdasan buatan tersebut membuat exploit zero day berkemampuan mencuri data korban.
Mengejutkannya, malware buatan ChatGPT itu mampu menghindari deteksi oleh semua program antivirus di dalam katalog VirusTotal.
Dilansir Gizchina, Minggu (16/4/2023), OpenAI telah menerapkan perlindungan untuk mencegah pengguna meminta ChatGPT untuk menulis kode berbahaya.
Namun, Aaron berhasil melewati perlindungan tersebut dengan meminta chatbot menghasilkan setiap baris kode berbahaya dan fokus pada fungsi terpisah.
Setelah mengkompilasi berbagai fungsi, Aaron mencoba eksekusi pencurian data dan hampir tidak terdeteksi.
Tidak seperti malware tradisional yang membutuhkan tim peretas dan sumber daya yang besar, Aaron menciptakan malware ini sendiri dalam waktu beberapa jam dan sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam pengkodean.
Ancaman Penyalahgunaan Alat AI
Penemuan tersebut menjadi ancaman bagi penyalahgunaan alat bertenaga AI semacam ChatGPT, sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang keamanan dan mudahnya eksploitasi.
Eksperimen tersebut menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Malware yang kompleks umumnya membutuhkan waktu berminggu-minggu bagi peretas terampil untuk mengembangkannya.
Namun dengan bantuan AI, orang yang tidak memiliki pengalaman coding sekalipun dapat membuatnya dengan praktis. Bukan tidak mungkin jika peretas sungguhan sudah menggunakan metode yang sama untuk membuat malware tingkat lanjut.
Dengan demikian, pendekatan keamanan siber di segala sisi perlu dikembangkan untuk menjamin AI tidak digunakan untuk hal yang berbahaya. Selain itu, pengguna juga harus diberikan edukasi tentang potensi risiko yang dapat ditimbulkan oleh teknologi ini.
Komunitas cybersecurity perlu beradaptasi dengan perubahan dan menggarap strategi baru untuk memerangi berbagai ancaman yang dibantu AI. Maka, kolaborasi antara peneliti, pengembang, dan pakar keamanan menjadi kunci keamanan digital.
(Dio/Dam)
Advertisement