Liputan6.com, Jakarta - Smart City jadi salah satu konsep yang banyak diwacanakan oleh pemerintah untuk diterapkan di berbagai kota-kota di Indonesia. Namun, ada konsep lain yang juga dinilai dapat diadopsi di Indonesia, yaitu Gigabit City.
Menurut Ketua Insfrastruktur Telematika Nasional, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot, konsep Gigabit City agak berbeda dengan Smart City.
Baca Juga
"Kalau Smart City kan kota cerdas, tapi kalau Gigabit City penekanannya adalah ketersediaan jaringan broadband yang paling tidak, levelnya satu gigabit," kata Sigit.
Advertisement
"Jadi satu kota yang disebut Gigabit City adalah di kota itu, tersedia jaringan yang minimal satu gigabit," ujar Sigit mewakili Mastel di Huawei Media Camp 2023 di Sumba, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (10/12/2023).
Konsep Gigabit City ini pun disebut dapat mendorong perekonomian, serta melibatkan banyak pihak termasuk bisnis fixed broadband hingga mobile broadband.
"Apalagi sekarang sudah mulai banyak perhatian meningkat ke apa yang disebut sebagai Fixed Wireless Access, solusi antara mobile broadband dengan fixed broadband," kata Sigit.
Dalam Gigabit City, di satu kota nantinya akan ada yang diberikan fixed atau fiber optic, hanya mobile saja di tempat yang penduduknya masih jarang, atau fixed wireless access.
Sigit memerkirakan, apabila pada 2029 di Indonesia ada 50 atau 100 kota dengan konsep Gigabit City, peringkat kecepatan internet di Tanah Air pun akan naik dari yang sekarang.
"Indonesia ini sekarang speed-nya termasuk yang terendah di ASEAN bahkan di dunia, fixed kita kalau tidak salah 129 dari 133 negara, mobile-nya 90 sekian dari 133. Sangat rendah sekali," tuturnya.
Internet yang memadai pun jadi sektor yang penting dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia.
"Banyak yang memprediksi ekonomi digital kita akan tumbuh luar biasa. Kalau digital economy tumbuh, tentunya butuh data banyak, tapi kalau koneksinya tidak tersedia dengan baik, kita tidak bisa dapatkan itu," ujarnya.
Kesuksesan Adopsi 5G Mulai Dipertanyakan
Pada kesempatan yang sama, diungkapkan juga, meski Indonesia sudah meluncurkan 5G pada tahun 2021 yang lalu, penerapan jaringan ini di berbagai negara termasuk di Tanah Air, bukan tanpa tantangan dan hambatan.
Sigit pun mengungkapkan bahwa banyak pihak yang mempertanyakan kesuksesan dari penerapan 5G.
Pertanyaan-pertanyaan yang keluar antara lain penerapannya, kecepatannya yang menurun, performa tak sebaik yang dijanjikan, hingga dampaknya buat 6G yang diperkiraka hadir sekitar 2030.
"Indonesia pun sama (dipertanyakan), setelah dua tahun menggelar kok masih begitu-begitu saja," kata Sigit dalam acara Huawei Media Camp 2023 di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (10/12/2023).
Sigit menyebut, masih ada demand gap (kesenjangan permintaan) untuk 5G, di mana permintaan dari masyarakat terhadap jaringan generasi ini belum muncul.
"Maka pekerjaan perusahaan seperti Huawei, dan juga operator telekomunikasi untuk membentuk demand, sehingga ada kebutuhan dari masyarakat bahwa 5G ini memang betul-betul perlu," kata Sigit.
Dari segi use case, penggunaan 5G memang sudah banyak. Namun, realisasinya dinilai masih belum menyeluruh, meski Sigit mengatakan bahwa hal ini sedikit demi sedikit ini bakal berkembang.
Advertisement
Adopsi 5G Tak akan Tiba-Tiba Naik
Sigit juga menilai bahwa adopsi 5G tidak akan melonjak pesat secara tiba-tiba, tapi akan berjalan dengan sendirinya.
"Adopsi atau penetrasi 5G, itu tetap akan berjalan, tetapi tidak akan tiba-tiba naik, tapi dia sifatnya natural dan gradual (bertahap)," kata Sigit.
5G walau begitu, dianggap sebagai salah satu jalan keluar buat industri telekomunikasi yang dinilai "tidak sehat-sehat saja, sedang dalam banyak tekanan."
"Karena memang peluang revenue-nya ada, tapi memang cost-nya cukup tinggi, tapi ini salah satu jalan keluar supaya tetap hidup," kata Sigit.
Untuk tahun depan, pemerintah diperkirakan akan merilis frekuensi 700 MHz dan 26GHz. Sementara untuk 2,6 GHz dan 3,5 GHz di mid-band atau tengah belum diketahui. Padahal idealnya, 5G berada di frekuensi ini.
"700 ini keuntungannya dia cakupannya bisa luas, tapi frekuensinya sempit. Makanya ini akan dibagi ke berapa pemenang kita belum tahu," kata Sigit.
Sigit pun mengatakan, 5G punya potensi untuk memberikan revenue, dan ini adalah salah satunya cara untuk menjawab kebutuhan naiknya lalu lintas data yang cukup besar di Indonesia.
"Karena kalau tetap pada teknologi 4G mungkin tidak akan cukup lagi. Jadi satu-satunya jalan memang harus dengan 5G," ia menambahkan.