Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), saat ini memang belum diatur secara khusus di Indonesia. Namun, UU ITE dan PP PSTE dianggap dapat mengakomodasi soal ini.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pemanfaatan AI dinilai tetap membutuhkan tata kelola agar dapat dilakukan secara aman dan produktif.
Baca Juga
Menurut Wakil Menkominfo Nezar Patria, dalam sebuah seminar di Jakarta Pusat, Rabu kemarin mengatakan, sejumlah negara juga telah merumuskan kebijakan soal tata kelola kecerdasan buatan.
Advertisement
"Meskipun kita belum memiliki regulasi khusus terkait AI, namun dampak pemanfaatan AI masih dapat diakomodasi melalui kebijakan existing seperti UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan PP tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE)," kata Nezar.
Menurut Wamenkominfo, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (14/12/2023), perangkat hukum yang ada saat ini bisa digunakan untuk menindak para pelaku, apabila terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
"Kalau ada pencemaran nama baik harus ada yang mengadukan. Kalau pelanggaran hukum lapornya ke penegak hukum. Bisa pakai UU ITE, tergantung apa yang dilanggar. Misalnya konten pornografi, nanti bisa dilihat di pasal-pasalnya di KUHP juga ada diatur," kata Nezar.
Nezar menyebut, negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, dan Brasil, juga punya pengaturan yang beragam.
Sebagai contoh, ada Executive Order untuk mengidentifikasi potensi dan risiko AI, serta mekanisme pengawasan agar tidak mengurangi hak fundamental warga. Sementara EU AI Act, menekankan prinsip human-centric.
SE Panduan Etika AI Sudah 98 Persen
Di Brasil, menurut Nezar, sedang dirancang Undang-Undang AI yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan, dengan membawa nilai demokrasi, non-diskriminasi, dan pluralitas. Sementara Tiongkok, sudah mengeluarkan kebijakan terkait penggunaan AI generatif dan kewajiban pelaku AI.
Untuk Indonesia, sudah ada Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial dengan fokus pengembangan dan penerapan AI.
Selain itu, Nezar juga kembali mengatakan bahwa Kementerian Kominfo tengah menyelesaikan Surat Edaran (SE) Menteri Kominfo tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Strategi Nasional pun sedang dalam proses untuk menjadi Rancangan Peraturan Presiden.
"Ke depan, kami berharap agar regulasi yang bersifat mengikat secara hukum dapat mendukung pengembangan ekosistem AI nasional dapat segera disusun," kata Nezar.
Sementara, Surat Edaran tentang panduan umum nilai, etika, dan kontrol kegiatan yang memakai AI, bisa jadi batu loncatan dalam menyusun regulasi di kemudian hari.
Ia pun mengatakan SE tersebut sudah masuk tahap finalisasi dan akan segera disahkan Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi pada akhir bulan ini.
"Sudah 98 persen, berarti tinggal 2 persen. Kita harapkan panduan ini bisa menjadi satu steping stone untuk kita bisa menyusun satu regulasi yang lebih solid nantinya," ia memungkasi.
Advertisement
Surat Edaran Penggunaan AI Belum Atur Sanksi
Sebelumnya Nezar Patria menyebutkan bahwa meski bersifat normatif dan etik, surat edaran pedoman AI yang akan dirilis Kominfo juga telah mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Selain itu, Wamenkominfo menegaskan bahwa dalam surat edaran ini, belum ada sanksi untuk diterapkan.
"Di Surat Edaran belum ada sanksi karena lebih ke panduan normatif," katanya usai Diskusi Multi-pemangku Kepentingan untuk Pengembangan Kerangka Etika Kecerdasan Artifisial beberapa waktu yang lalu.
"Tapi AI harus transparan, harus inklusif, mengadopsi nilai-nilai demokrasi, nondiskriminatif, dan akuntabel. Itu jadikan sebagai panduan etik," kata Nezar di Jakarta.
Mengutip siaran pers, Kamis (7/12/2023), Nezar Patria mengatakan salah satu ekosistem teknologi AI berupa AI generatif menghasilkan deepfake, saat ini banyak digunakan. Ia mengingatkan bahwa pemanfaatannya bisa untuk kegiatan positif, tetapi juga ada peluang penyalahgunaan.
"Yang positif misalnya digunakan untuk marketing tanpa memberikan kerugian kepada pihak lain, tapi ada juga yang mencoba melakukan disinformasi dan misinformasi dengan menggunakan deepfake ini."
"Nah ini yang coba kita pagari secara etik, bahwa misalnya kalau ada produk generative AI yang menggunakan teknologi deepfake harus transparan," imbuhnya.
Nezar menekankan, setiap pengguna AI generatif baik dalam bentuk gambar, video, teks, atau suara, harus memastikan sumber teknologi yang digunakan.
"Kalau yang dipakai adalah hasil generative AI, maka dengan demikian publik akan tahu bahwa ini adalah produk deepfake," kata Wamenkominfo.
Surat Edaran Bisa Jadi Panduan
Adapun, Panduan Penggunaan AI nantinya masih akan berupa surat edaran. Meski begitu, diharapkan dari sana akan ada regulasi sementara sebagai panduan.
Menurut Nezar, hal ini sebagai antisipasi dalam waktu singkat, di mana surat edaran ini bisa menjadi sebuah panduan, misalnya saat ada masalah hukum.
"Misalnya ada produk-produk yang menggunakan generative AI selama dia mengadopsi surat edaran ini tentu saja jika nanti bersinggungan dengan hukum, prosesnya akan dilihat bahwa sebetulnya cukup etis."
"Tetapi mungkin nanti ada beberapa hal dari peraturan hukum yang berlaku yang dilanggar akan menjadi pertimbangan hakim dalam soal ini."
Selain itu, jika kecerdasan buatan generatif dipakai dengan melanggar aspek etik dan hukum yang mengatur ruang digital di Indonesia, hakim juga bisa memberikan kesimpulan.
"Ada juga yang tidak melanggar etik tetapi mungkin punya persoalan dengan hukum, itu jadi pertimbangan hakim," kata Wamenkominfo.
Nezar juga mengapresasi diskusi multi-pemangku kepentingan untuk membahas pengembangan kerangka etika AI. Menurutnya masukan dari diskusi akan sangat berharga dalam memperkaya surat edaran dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip etis.
Wamenkominfo pun mengatakan Kominfo terbuka untuk berdiskusi dengan para stakeholder dalam pembuatan surat edaran AI ini, termasuk konsultasi dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil.
Advertisement