Menteri Susi Dinilai Lamban Tuntaskan Polemik Penggunaan Cantrang

KNTI menyayangkan lambannya pemerintah dalam mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang.

oleh Septian Deny diperbarui 04 Mar 2015, 11:42 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2015, 11:42 WIB
Ribuan Nelayan Kepung Kantor Menteri Susi Pudjiastuti
Aksi massa Front Nelayan Bersatu menolak Peraturan Menteri (Permen) tentang larangan penggunaan cantrang, atau jenis trawl yang telah dimodifikasi untuk menangkap ikan di depan kantor KKP, Jakarta, Kamis (26/2/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) menyayangkan lambannya pemerintah dalam mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga menyebabkan meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur Pantura Jawa, kemarin.

Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik mengatakan, sejak awal KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia. Sejumlah dokumen juga menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005.

"Namun pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (4/3/2015).

Guna memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI mendesak pemerintah pusat untuk mengawal secara penuh masa transisi cantrang ini dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait: status merusak atau tidak merusaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya.

2. Melakukan sosialisasi dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan;

3.  Menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan.

4. Menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru.

5. Bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

6. Bersama pemerintah daerah menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.

7. Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak.

8. Memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam Rencana Zonasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir.

9. Memastikan pada Masa Transisi agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi.

"KNTI percaya bila sembilan langkah solutif itu dilakukan maka cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mulai diletakan pada dasar yang benar," tandasnya. (Dny/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya