Menkeu Angkat Bicara Soal Penerimaan Pajak Temuan BPK

Di luar masalah pajak, BPK juga menemukan ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan penggantian biaya produksi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Apr 2015, 16:23 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2015, 16:23 WIB
Proyek Migas
(Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan angkat bicara mengenai temuan masalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas (migas) senilai Rp 1,12 triliun. Hal ini menyusul laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2014 dari Badan Peme‎riksa Keuangan (BPK) kepada DPR.

Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, temuan BPK merupakan temuan berulang. Di mana kesulitan masalah perpajakan di sektor migas karena adanya perjanjian perpajakan antara dua negara dalam rangka meminimalisir pembajakan berganda atau tax treaty.

"Yang paling susah itu tax treaty karena sudah fix antar negara. Seharusnya kalau ada perusahaan minyak yang melakukan tax treaty, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus segera mengubah aturan bagi hasil," terang dia di kantornya, Jakarta, Rabu (8/4/2015).

Sayangnya, kata Bambang, perubahan itu tidak pernah dilakukan meski ada permintaan tersebut, sehingga perusahaan minyak masih menggunakan tax treaty‎. Ketika pajak itu diaudit BPK, sambungnya, ada selisih dan dianggap sebagai masalah dalam penerimaan pajak.

Seperti diketahui, BPK menemukan adanya masalah penerimaan pajak di industri migas dengan nilai yang cukup besar yaitu Rp 1,12 triliun. Ketua BPK, Harry Azhar Azis mengatakan, masalah tersebut adalah pajak bumi dan bangunan (PBB) yang belum dibayarkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas.

Menurut Harry, ada potensi PBB terutang minimal sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas Tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar.

Potensi kekurangan penerimaan itu, karena Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tidak menetapkan PBB Migas terhadap kontraktor kontrak kerja sama yang belum mendapat persetujuan terminasi atas wilayah kerjanya.

Harry mengatakan potensi penerimaan negara dari migas yang tidak tergali optimal ini juga disebababkan belum adanya titik temu antara Kementerian Keuangan dan KKKS mengenai penetapan dan ketentuan penetapan PBB migas.

"Jadi kami nilai masih ada potensi kekurangan penerimaan. Kami minta proyek migas ini harus dilakukan cermat antara Kemenkeu dan KKKS," kata dia.

Di luar masalah pajak, BPK juga menemukan ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan penggantian biaya produksi (cost recovery). Akibatnya, penerimaan negara menjadi berkurang senilai Rp 6,19 triliun.  (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya