Sektor Migas Minta Keringanan Kewajiban Penggunaan Rupiah

Banyak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang meminta kepada kementerian untuk bisa melakukan negosiasi kepada Bank Indonesia.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 01 Jul 2015, 10:32 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2015, 10:32 WIB
Nilai Rupiah Terus Terpuruk
Petugas menghitung mata uang AS di penukaran valas Ayu Masagung, Jakarta, Senin (9/3/2015). Pada awal perdagangan rupiah dibuka pada level 12.994 atau melemah 18 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu di posisi 12.976. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Industri di sektor minyak dan gas (migas) berhadap bisa mendapat pengecualian dalam pelaksanaan surat edaran Bank Indonesia (BI) mengenai kewajiban transaksi menggunakan rupiah di dalam negeri.

Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, penerapan kebijakan transaksi rupiah yang mulai berlaku 1 Juli 2015 tersebut akan membuat investor asing ragu untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.

"Dia bawa dolar AS, kalau transaksi rupiah bagus bagi kita. Tapi bagi investor mereka justru ragu-ragu. Ada kemungkinan mereka malah pindah ke tempat lain," kata Wirat, di Jakarta, Rabu (1/7/2015).

Ia menambahkan, banyak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang meminta kepada kementerian untuk bisa melakukan negosiasi kepada Bank Indonesia mengenai penerapan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tersebut. Paling tidak penerapannya menunggu hingga nilai tukar rupiah stabil.

"Kami harap sektor migas bisa mendapat privilege. Banyak KKKS menulis surat protes, mohon diperhatikan. Jadi penerapannya kalau rupiah sudah stabil," ungkapnya.

Jika penggunaan rupiah dilakukan saat mata uang garuda tersebut mengalami pelemahan, maka investasi dari pelaku usaha migas juga dikhawatirkan akan menurun. "Kalau ada investor dari luar punya uang dolar AS mau investasi ke Indonesia, rupiah turun terus jadi dia belum untung sudah turun," pungkasnya.

Untuk diketahui, Bank Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP mengenai Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aturan tersebut mulai berlaku pada 1 Juni 2015 lalu.

Pelaksana Tugas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto mengatakan, Surat Edaran ini menjadi penegasan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kewajiban ini juga telah dilakukan oleh negara lain sehingga dinilai sangat wajar untuk diterapkan juga di Indonesia.

"Jadi jelas ada instruksi menterinya dan ada undang-undang khusus. Rasanya juga tidak berlebihan. Kalau kita ke Malaysia, kita harus bertransaksi pakai ringgit, ke Australia pakai dolar Australia," ujarnya.

Dia juga membantah bahwa SE ini keluarkan lantaran kondisi rupiah semakin melemah terhadap mata uang asing, terutama Amerika Serikat sehingga menjadi salah satu cara bagi BI untuk mendongkrak nilai tukar rupiah.

"Ini dikeluarkan pada saat rupiah melemah, saya rasa tidak ada kaitan dengan itu tetapi ini masalah kedaulatan. Tapi memang ini berdampak juga. Selama ini kan transaksi yang harusnya pakai rupiah tapi pakai valuta asing sehingga permintaan bertambah," lanjut dia.

Selain itu, mengenai anggapan bahwa kebijakan ini bisa mendorong peningkatan inflasi, Eko menyatakan pihaknya berharap dengan SE ini orang semakin sadar untuk menggunakan rupiah sehingga permintaan dolar AS semakin menurun.

"Ada anggapan kalau punya dolar lalu dikonversi ke rupiah apa tidak menambah inflasi? Kami berharap tidak ada permintaan dolar AS. Kalau ada maka ada peningkatan permintaan valuta asing. Ini yang menyebabkan tekanan," tandasnya.

SE mengenai rupiah yang dikeluarkan oleh BI tersebut mengatur tiga hal penting. Pertama, soal kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI menganut asas teritorial.

Jadi, setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI, baik dilakukan oleh penduduk maupun bukan penduduk, transaksi tunai maupun non tunai, sepanjang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.

"Di area KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) untuk perdagangan bebas itu pun harus menggunakan rupiah. Dalam transaksi pembayaran, kita wajib menerima pembayaran menggunakan rupiah," ujar Eko.

Kedua, dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah, pelaku usaha baik perseorangan maupun korporasi wajib mencantumkan harga barang dan atau jasa hanya dalam rupiah, dan dilarang mencantumkan harga barang dan atau jasa dalam rupiah dan mata uang asing secara bersamaan (dual quotation).

"Jadi dilarang menggunakan dual quotation. Baik untuk sewa menyewa, tarif harus menggunakan rupiah," lanjutnya.

Ketiga, untuk proyek infrastruktur tertentu yang strategis, BI mempersilahkan adanya penyesuaian. Proyek-proyek tersebut akan dilakukan penilaian oleh BI secara langsung.

"Pelaksanaan kewajiban ini dapat disesuaikan apabila dinyatakan pemerintah pusat sebagai proyek infrastruktur strategis yang dibuktikan dengan surat dari kementerian atau lembaga terkait. BI akan melakukan assessment. Pemohon bisa menyampaikan akta pendirian perusahaan, surat dari kementeriandan lembaga dan fotokopi perjanjian," tandasnya. (Pew/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya