OPINI: Sektor Migas dan Kebijakan Tarif Resiprokal Presiden Trump

Setelah kebijakan tarif resiprokal diberlakukan sejak awal April 2025, tarif bea masuk untuk produk tekstil, garmen, dan alas kaki dari Indonesia menjadi 20 % sampai dengan 47 %, tergantung jenis produk yang diimpor.

Komaidi Notonegoro
Berdasarkan opini dari: Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Komaidi Notonegoro... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Minyak dan gas (migas) menjadi salah satu instrumen yang digunakan Tim Delegasi Negosiasi Tarif Indonesia terkait kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat. Dalam kebijakan tarif resiprokal Presiden Trump, Indonesia dikenakan rata-rata tarif impor sebesar 32 %. Sebelum diberlakukan tarif resiprokal, tarif bea masuk yang dikenakan untuk produk tekstil, garmen, dan alas kaki dari Indonesia adalah antara 10 % sampai dengan 37 %.

Setelah kebijakan tarif resiprokal diberlakukan sejak awal April 2025, tarif bea masuk untuk produk tekstil, garmen, dan alas kaki dari Indonesia menjadi 20 % sampai dengan 47 %, tergantung jenis produk yang diimpor.

Merespon kebijakan Presiden Trump tersebut Pemerintah Indonesia mengirimkan Tim Delegasi Negosiasi Tarif dengan Pemerintah Amerika Serikat yang diantaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu.

Dalam pertemuan dengan US Trade Representative dan Departemen Perdagangan Amerika Serikat, Tim Delegasi Negosiasi Tarif mengusulkan skema baru dalam hubungan dagang Indonesia-Amerika Serikat yang lebih adil dan seimbang. Diantara poin yang ditawarkan oleh Indonesia untuk menegosiasikan kebijakan tarif impor adalah Indonesia akan meningkatkan pembelian energi dari Amerika Serikat yang diantaranya meliputi LPG, crude oil, dan gasoline.

Posisi Indonesia terhadap AS

Dalam hubungan ekonomi dan perdagangan, secara relatif posisi Indonesia lebih tergantung terhadap Amerika Serikat dibandingkan ketergantungan Amerika Serikat terhadap Indonesia.

Terkait ekspor-impor misalnya, porsi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat sekitar 10 % dari total nilai ekspor Indonesia. Sementara, di sisi yang lain impor barang dan jasa Amerika Serikat dari Indonesia tercatat hanya sekitar 0,9 % dari total nilai impor mereka.

Meski porsi impor Amerika Serikat dari Indonesia hanya sekitar 0,9 % dari total impor mereka, Amerika Serikat tercatat mengalami defisit neraca dagang terhadap Indonesia.

Kondisi tersebut yang menjadi alasan Presiden Trump mengenakan tarif resiprokal terhadap Indonesia. Surplus neraca dagang Indonesia tercatat meningkat dari 11,96 miliar USD pada 2023 menjadi 14,34 miliar USD pada 2024.

Ketergantungan Indonesia terhadap Amerika Serikat juga tercermin dari peran penting negara tersebut yang menjadi salah satu tujuan ekspor utama dari beberapa produk yang dihasilkan oleh Indonesia.

Sekitar 64 % tujuan ekspor dari produk mesin dan peralatan listrik yang dihasilkan Indonesia adalah ke Amerika Serikat, sekitar 69 % tujuan ekspor produk pakaian Indonesia adalah ke Amerika Serikat, dan sekitar 80 % tujuan ekspor dari hasil produksi udang dan kerang Indonesia juga ke Amerika Serikat.  

 

 

 

Ambil Langkah Tepat

Jika mencermati kondisi yang ada tersebut, langkah atau pilihan kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia dalam merespon kebijakan tarif resiprokal Presiden Trump tersebut pada dasarnya sudah tepat. Ketergantungan yang cukup besar terhadap Amerika Serikat menyebabkan Indonesia relatif tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan negosiasi.

Terkait dengan ekspor udang dan kerang misalnya, dalam jangka pendek relatif sulit bagi Indonesia untuk mencari pasar baru atau mengalihkan tujuan ekspor ke negara lain mengingat selama ini sekitar 80 % ekspor produk udang dan kerang Indonesia adalah ke Amerika Serikat.

Meskipun pilihan untuk melakukan negosiasi sudah relatif tepat, proposal yang disampaikan perlu disesuaikan dengan sejumlah aspek terutama terkait aspek teknis bisnis, hubungan dagang, keterkaitan dengan APBN, dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat di dalam negeri.

Sebagai contoh, komitmen untuk meningkatkan impor crude oil dari Amerika Serikat perlu dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan industri kilang dan pelaku usaha pengadaan BBM terutama Pertamina. Hal teknis-bisnis seperti apakah jenis crude oil tersebut cocok dengan spesifikasi kilang domestik dan bagaimana dampaknya terhadap biaya penyediaan BBM di dalam negeri kiranya perlu dikomunikasikan dengan pelaku usaha yang beririsan dengan permasalahan tersebut.

Hal lain yang tidak kalah penting dan akan menjadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana Pemerintah Indonesia dapat dengan baik mengkomunikasikan pilihan kebijakan tersebut dengan mitra dagang sebelumnya. Untuk minyak dan produk BBM misalnya, sekitar 74 % impor Indonesia selama ini dilakukan dari Singapura dan Malaysia.

Rencana penambahan volume dan porsi impor minyak dan BBM dari Amerika Serikat secara tidak langsung akan mengurangi volume dan porsi impor dari Singapura dan Malaysia.Hubungan dagang yang sudah terjalin lama dan mitra strategis dalam kawasan yang sama (ASEAN) dengan Singapura dan Malaysia juga perlu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Indonesia di dalam mengambil langkah kebijakan.

Kondisi yang sedang terjadi, terutama terkait bagaimana Indonesia harus memformulasikan hubungan politik-ekonomi dengan Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia memang tidak mudah.

 

 

 

Hubungan Kuat

Secara historis, Indonesia memiliki hubungan politik-ekonomi yang cukup kuat dengan Amerika Serikat. Dalam perkembangan perekonomian Indonesia kontribusi PMA dari Amerika Serikat dalam mengembangkan industri migas dan mineral di dalam negeri dapat dikatakan sudah tidak terbantahkan lagi.

Sementara untuk saat ini, kontribusi investasi PMA Singapura dan Malaysia di Indonesia cukup signifikan. Pada tahun 2024, realisasi investasi Singapura di Indonesia menempati posisi teratas dengan 20,07 miliar USD. Investasi Singapura tersebut setara dengan 33,45 % dari total realisasi PMA di Indonesia pada tahun yang sama dan tersebar untuk 32.285 proyek.

Pada tahun yang sama, realisasi investasi Malaysia di Indonesia sebesar 4,24 miliar USD tersebar untuk 6.554 proyek. Sementara, realisasi investasi Amerika Serikat pada tahun yang sama adalah 3,69 miliar USD yang tersebar untuk 4.831 proyek.

Meskipun kondisinya tidak mudah, pemerintah Indonesia tetap perlu mengambil langkah kebijakan sebagai respon terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat.

Semoga respon dan formulasi kebijakan yang akan diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia telah mengakomodasi berbagai kepentingan dalam jangka pendek, menengah dan panjang, terutama dan yang tidak kalah penting adalah perlu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berpotensi terdampak akibat kebijakan yang akan diambil.  

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus
oleh Nurmayanti Diperbarui 22 Apr 2025, 15:55 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2025, 20:00 WIB

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya