Liputan6.com, Jakarta - Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membawa dampak buruk pada sektor tenaga kerja di dalam negeri.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan akibat hal ini, ratusan ribu buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berpotensi terkena PHK.
"Data dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) ada 50 ribuan buruh sudah ter-PHK. Kalau dengan potensi menjadi 100 ribuan. Tapi yang potensi ini sekarang sudah hampir pasti di-PHK," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Dia menjelaskan, para buruh yang berpotensi terkena PHK tersebut saat ini tengah dalam proses perundingan antara serikat pekerja (SP) dengan perusahaan soal pembayaran pesangon.
"Mereka sudah siap-siap di-PHK. Sekarang dalam proses negosiasi serikat pekerja soal pesangonnya," lanjut dia.
Menurut Said, industri yang telah memberhentikan pekerjanya sebagian besar merupakan industri padat karya seperti garmen, sepatu, tekstil, makanan dan minuman.
"Itu ada di Semarang, Demak, Tangerang, Jawa Timur seperti Mojokerto dan Pasuruan. Bahkan ada 13 perusahaan padat karya sudah tutup ketika dolar AS menembus Rp 13 ribu," katanya.
Sedangkan industri yang berpotensi mem-PHK pekerjanya yaitu industri di sektor otomotif dan elektronik. Hal ini terlibat dari sebelum Idul Fitri perusahaan-perusahaan tersebut telah merumahkan pekerja kontrak yang habis masa kontraknya.
"Biasanya setelah Lebaran pekerja-pekerja itu dipanggil lagi dan diperpanjang kontraknya. Tapi ini dua bulan setelah Lebaran tidak dipanggil lagi. Ini berarti sudah ada tanda PHK permanen. Jadi yang sebelumnya dirumahkan, sekarang terancam di-PHK," jelas dia.
Industri otomotif dan elektronik tersebut berada di beberapa wilayah seperti Bekasi, Purwakarta, Batam, Jawa Timur dan Pasuruan. "Sudah pasti pada September ini mereka di-PHK, dari yang tadinya dirumahkan atau jam kerjanya dikurangi dari yang biasanya seminggu bekerja selama 5 hari menjadi 3 hari," tandasnya. (Dny/Ndw)