Pengusaha: Kenaikan Upah Harus Sesuai Produktivitas

Pengusaha mebel dan furnitur mengaku tidak keberatan dengan formula baru pengupahan.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Nov 2015, 13:35 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2015, 13:35 WIB
Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha mebel dan furnitur mengaku tidak keberatan dengan formula baru pengupahan yang telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, asal hal itu diikuti juga oleh peningkatan produktivitas.

Ketua Mebel Rotan dan Bambu Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Edy Saputra mengatakan, selama ini upah memang menjadi masalah utama bagi industri padat karya seperti mebel dan furnitur. Namun selama produktivitas pekerjanya sesuai dengan besaran upah, hal tersebut dirasakan tidak menjadi masalah.

"Upah minimum itu masalah yang krusial. Di satu sisi cost produksi kita sangat berpengaruh kalau upah minimumnya di atas  besaran yang ditentukan. Tetapi Di sisi lain kinerja pekerja di bawah itu, itu bermasalah. Kecuali upahnya sekian tapi produktivitasnya setara," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Selasa (3/10/2015).

Menurut Edy, selama ini industri mebel dan furnitur di dalam negeri sebagian besar telah mengikuti penetapan upah minimum sesuai dengan daerahnya masing-masing. Namun yang menjadi masalah justru produktivitas dari para pekerja.

"Kebanyakan industri kita rata-rata banyak yang lebih dari upah minimum, cuma yang kita keluhkan produktivitasnya kurang, kemudian harga jual produk jadi mahal, pembeli tidak mau beli. Itu yang bikin lesu," kata dia.

Dia mengungkapkan, produktivitas pekerja Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan pekerja di China. Jika dilihat dari jam kerja saja, pekerja di Negeri Tirai Bambu tersebut punya jam kerja yang lebih panjang dibandingkan pekerja di Indonesia.

"Produktivitas kita kalah dengan negara lain, seperti China. Mereka kerja dari pukul 8 pagi sampai 7 malam. Kalau di kita cuma dari pukul 8 pagi sampai pukul  4 sore. Itu kan sudah jauh," kata dia.

Selain itu juga dari sisi budaya. Pekerja di Indonesia harus diawasi terus-menerus agar mau bekerja sesuai target. Hal tersebut berbeda dengan China di mana pekerjanya sudah sadar harus memenuhi target masing-masing.

"Dari segi budaya, orang kita kalau kerja harus dimonitor, kalau tidak kerjanya tidak beres. Tapi kalau di sana mau dimonitor atau tidak, mereka kerja punya target," tandasnya. (Dny/Zul)*

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya