Feedlofter Terindikasi Bergantung Sapi Impor

Pengelola rumah potong hewan atau feedlofter dinilai menerima keuntungan lebih besar ketimbang daging lokal.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 06 Nov 2015, 13:49 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2015, 13:49 WIB
Seorang pedagang mencincang daging sapi di los daging sapi pasar Kliwon Temanggung, Jateng. Menurut pedagang harga daging sapi tidak terpengaruh larangan impor sapi oleh pemerintah.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggelar pemeriksaan lanjutan untuk perkara dugaan pelanggaran soal perdagangan sapi impor.

Hal itu tertuang dalam pasal 11 dan pasal 19 huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Agenda kali ini, KPPU mendengar keterangan saksi dari PT Sinar Daging Perdana selaku pengelola rumah potong hewan (RPH).

Bertindak sebagai tim investigator Mohammad Noor Rofiq mengatakan, berdasarkan keterangan saksi RPH tersebut cenderung tergantung pada pada sapi impor. Lantaran, RPH menerima keuntungan lebih sebanyak Rp 2.000 dari pada daging lokal.

"Pertama kita melihat, terlepas ketidakonsistenan saya menyimpulkan dia tak beralih lokal karena selisih harga Rp 2.000 per kg. Dia menjawab memungkinkan. Kalau pebisnis, meskipun berkelit, tapi yang menyimpulkan harga. Sapi lokal tidak menggantikan impor," kata dia di Jakarta, Jumat (6/11/2015).

Harga sapi impor dalam keadaan hidup mencapai Rp 46.000-48.000 per kg, sedangkan lokal Rp 48.000-50.000 per kg.

"Rp 2.000 per kg, kalau rata-rata harga satu sapi 350-400 kg maka selisihnya Rp 800 ribu keuntungan yang luar biasa. Itu hidup. Kalau 12 ekor kali Rp 800 ribu keuntungan Rp 9,6 juta itu per minggu. Lumayan buat bayar karyawan. Makanya dia bahasanya menguntungkan. Kalau per tahun berapa," lanjutnya.

Seharusnya, dia bilang kalau harga sapi impor naik RPH bakal memindahkan sasarannya ke sapi lokal. Itu indikasi jika RPH tergantung sapi impor.

Sementara, ketika harga sapi impor naik justru RPH berhenti beroperasi. Itu membuat stok daging menipis dan untuk selanjutnya harga daging naik.

"Kemudian apa yang dilakukan pemilik sapi, dia bilang tak menguntungkan sehingga November sampai sekarang dia berhenti karena tak menguntungkan harga naik. Makanya dia berhenti," tandas dia. (Amd/Ahm)*

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya