Liputan6.com, Jakarta - Penurunan harga minyak dunia yang sempat menyentuh level US$ 35 per barel justru menjadi berkah bagi PT Elnusa Tbk (ELSA). Berkah tersebut membuat bisnis Elnusa bertahan sampai saat ini.
Vice President of Corporate Secretary Elnusa, Fajriyah Usman mengungkapkan, saat harga minyak tinggi, perusahaan pencari minyak dan gas bumi atau para Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) memilih untuk menggunakan peralatan dengan teknologi tinggi.
"Dulu waktu harga minyak tinggi, banyak KKKS yang meningkatkan kinerja dengan menggunakan peralatan yang teknologi tinggi," kata Fajriah, kepada wartawan di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Kamis (17/12/2015).
Baca Juga
Namun kemudian, saat kondisi harga minyak anjlok seperti belakangan ini, banyak KKKS meninggalkan peralatan dengan teknologi tinggi tersebut dan beralih menggunakan peralatan dengan teknologi medium. Langkah pergantian peralatan tersebut sebagai sebuah langkah efisiensi.
Menurut Fajriyah, hal tersebut menjadi peluang bagi Elnusa yang sejak awal memilih untuk menggunakan teknologi kelas medium. "Saat turun banyak yang beralih menggunakan teknologi medium. Itu jadi opportunity bagi Elnusa karena kami sudah sejak lama medium," ungkap Fajriyah.
Sejak akhir tahun lalu, harga minyak memang terus tertekan. Pada Juni 2014, harga minyak sempat menyentuh level tertinggi hingga mencapai US$ 110 per barel. Namun kemudian di akhir tahun harga minyak terus turun dan hingga di bawah US$ 50 per barel. Di tahun ini, rupiah terus bertahan di kisaran US$ 45 per barel namun cenderung tertekan hingga sempat menyentuh level US$ 35 per barel.
Khusus untuk bulan ini, harga minyak mentah jatuh 15 persen di tengah kekhawatiran bahwa kelebihan pasokan minyak mentah dunia akan berlanjut hingga 2016.
Pada perdagangan kemarin, harga minyak mentah AS jenis light sweet untuk pengiriman Januari turun US$ 1,83 atau 4,9 persen menjadi US$ 35,52 per barel di New York Mercantile Exchange. Ini penutupan terendah sejak Februari 2009.
Sementara harga Brent, patokan minyak global, jatuh US$ 1,26 atau 3,3 persen ke posisi US$ 37,19 per barel di ICE Futures Europe. Ini menjadi level terendah sejak Desember 2008. (Pew/Gdn)