Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak terjun bebas. Jika dihitung dalam tiga pekan terakhir, harga minyak telah melemah lebih dari 25 persen. Di awal 2016, harga minyak masih berada di kisaran US$ 40 per barel. Namun pada penutupan perdagangan Rabu 20 Januari 2016, harga minyak telah berada di bawah US$ 30 per barel.
Pada penutupan perdagangan Rabu lalu, harga minyak acuan Amerika Serikat West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari berada di level US$ 26,55 per barel. Harga ini adalah harga paling rendah sejak Mei 2003.
Kepala Riset Sektor Energi Barclays, Michael Cohen mengatakan, harga minyak kemungkinan besar masih akan berada di bawah US$ 30 per barel dalam beberapa bulan ke depan. "Kami melihat harga minyak tidak akan turun namun juga belum akan beranjak naik," tutur Cohen.
Kepala Analis TD Securities, Bart Melek menambahkan, volatilitas harga minyak saat ini cukup tinggi. Oleh karena itu pelaku pasar melihat bahwa harga saat ini masih bisa bergerak lebih dalam lagi.Â
Jumlah pasokan yang berlebih di tengah perlambatan ekonomi China menjadi salah satu alasan harga minyak masih bisa mengalami tekanan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) juga masih menjadi pertanyaan beberapa analis. Pemerintah AS mengungkapkan pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan target namun hal tersebut belum meyakinkan para analis.
Permintaan minyak olahan atau bensin di negara tersebut memang terus mengalami kenaikan namun produksi dan juga persediaan minyak mentah juga ikut meningkat.
Perusahaan Minyak Tertekan
Penurunan harga minyak tersebut cukup memberikan tekanan kepada perusahaan yang bergerak di sektor minyak. Lantaran penurunan tersebut cukup cepat. Jika menilik dalam 18 bulan terakhir, harga minyak telah jatuh dari US$ 110 per barel ke posisi di bawah US$ 30 per barel.
Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), Craig Stewart mengatakan, jatuhnya harga minyak terjadi karena kelebihan pasokan‎ di dunia. Jumlah permintaan menurun namun tak ada yang mau mengurangi produksi.
Direktur IPA, Sammy Hamzah‎ menambahkan, kondisi tersebut berdampak pada pengurangan pekerja, khususnya pekerja yang bekerja di bagian eksplorasi, yang berstatus kontrak dan subkontraktor.
"Saya tidak pungkiri akan ada pelepasan karyawan dalam waktu ke depan, bahkan sudah terjadi sekarang. Bidangnya itu pertama eksplorasi. Kedua, sifatnya suportif, misal yang dua orang jadi satu orang," tutur Sammy.
Salah satu perusahaan yang harus menelan pil pahit adalah Schlumberger Ltd. Perusahaan minyak tersebut harus menerima pembatalan proyek pengeboran minyak dari klien akibat anjloknya harga minyak.
Hal ini mengakibatkan kerugian besar hingga mencapai US$ 1 miliar pada kuartal IV 2015. Schlumberger juga berencana untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10 ribu pegawai dari total 95 ribu pegawai yang bekerja. Sejak November 2014, Schlumberger telah memotong 26 persen pegawai perusahaan atau sebanyak 34 ribu karyawan.
Ada yang Diuntungkan
Namun tak semua menderita dengan penurunan harga minyak tersebut, beberapa negara justru diuntungkan. Sebagai negara pengimpor minyak, beberapa negara di Eropa justru menikmati untung dari anjloknya harga minyak dunia.
CEO Maersk Group Nils Andersen menuturkan harga minyak yang lebih rendah telah menjadi dorongan ekonomi Eropa. "Anda melihat perekonomian di Eropa tumbuh, meskipun negara-negara Eropa tidak melakukan banyak perubahan struktural di bidang ekonomi. Jadi, saya pikir ada banyak nilai tambah yang tersembunyi dari harga minyak yang lebih rendah ini," katanya.
Selain itu, Jepang juga diuntungkan. Hampir seluruh kebutuhan Jepang akan minyak didapatkan dengan impor. Harga minyak yang tinggi membantu inflasi tetap tinggi, yang mana hal tersebut sangat penting untuk perencanaan ekonomi Jepang agar kembali ke jalurnya.
Negara lain di Asia yaitu India juga ikut senang. Untuk memenuhi kebutuhan negaranya, India mengimpor minyak hingga 75 persen. Saat harga minyak turun, India mendapat 'durian runtuh' dengan meningkatnya keuangan negara.
Dampak ke Indonesia
Dengan turunnya harga minyak tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, mengaku, pemerintah akan segera mengajukan APBN-Perubahan (APBN-P) tahun ini.
Dipastikannya, salah satu poin yang masuk dalam revisi adalah ICP dari proyeksi sebelumnya US$ 50 per barel. Rencana revisi tersebut seiring dengan pelemahan harga minyak mentah dunia. "Harga minyak (ICP masuk revisi)," kata Bambang.
Dampak dari revisi harga minyak, diakui Bambang, membuat pendapatan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ikut mengalami perubahan. Dengan demikian, pemerintah membidik penerimaan dari sektor pajak sebagai andalan pendapatan negara di tahun ini.
"Penerimaan minyak sebenarnya sudah mulai kecil. PNBP dari migas di tahun lalu saja sudah tinggal berapa, sehingga kita akan menekankan sumber penerimaan dari pajak," ucap Bambang.
Dari data Kementerian Keuangan, setiap perubahan atau penurunan ICP US$ 1 dolar, maka berpengaruh terhadap pendapatan negara berkurang Rp 3,5 triliun-Rp 3,9 triliun. Sementara imbasnya ke PNBP terjadi koreksi Rp 2,7 triliun- Rp 3,1 triliun.Â
Di luar itu, Indonesia juga diuntungkan dengan penurunan harga minyak dunia tersebut. Bahan bakar listrik (BBM), listrik, hingga elpiji mengalami penurunan harga yang bervariasi. yang pasti, masyarakat menyambut baik penyesuaian harga ini.
Penurunan harga BBM untuk premium dan solar sebenarnya sudah ditetapkan pada akhir tahun lalu. Namun penyesuaian harga baru efektif berlaku pada 5 Januari 2016.
Harga BBM jenis Premium RON 88 di Wilayah Penugasan Luar Jawa-Madura-Bali turun menjadi Rp 6.950 per liter dari harga sebelumnya Rp 7.300 per liter dan solar menjadi Rp 5.650 per liter dari harga sebelumnya Rp 6.700 per liter. (Gdn/Ahm)