Liputan6.com, Jakarta - Penerimaan negara yang diperoleh dari pungutan bea keluar terancam berkurang di tahun ini. Alasannya, sampai saat ini pemerintah belum memberikan izin ekspor konsentrat pada PT Freeport Indonesia (PTFI).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Heru Pambudi mengatakan, setiap penegakan aturan yang ada memang selalu memiliki risiko. Salah satunya adalah penegakan aturan ekspor mineral mentah yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Saat ini,Freeport Indonesia tidak bisa melakukan ekspor karena belum mendapat izin dari Kementerian ESDM. Padahal, Freeport merupakan penyumbang terbesar dari penerimaan bea keluar. "Kosekuensinya karena sebagian bea keluar dapatnya dari Freeport dan Newmont. Saya kira itu," katanya Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Baca Juga
Dia mengatakan, saat ini Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) sedang memantau perkembangan dari kebijakan pemerintah. Meski demikian, dia bilang bakal menyesuaikan segala keputusan yang diambil dari pemerintah.
"Kami monitor terus kebijakan pemerintah, ini akan menyesuaikan kebijakan pemerintah itu. Artinya dalam posisi siap melaksanakan apa yang diputuskan pemerintah. Nanti memang konsekuensi di penerimaan, saya kira nggak masalah. Kalau memang sudah fix kebijakan 2016 terkait ekspor nanti menyesuaikan," jelasnya.
Dia mengatakan, cara yang bakal ditempuh, antara lain menggenjot penerimaan bea keluar dari produk lain meskipun relatif kecil. "Saya kira optimalisasi dari bea keluar masih ada yang lain ada turunan sawit ada berapa produk meskipun relatif kecil. Yang utama kebijakan pemerintah kita jalan," tuturnya.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC Sugeng Aprianto mengatakan DJBC menargetkan penerimaan bea keluar sebesar Rp 2,88 triliun pada 2016. Angka tersebut dibawah realisasi 2015 sebesar Rp 3,9 triliun. Dia mengatakan, kontributor terbesar berasal dari perusahaan kelas kakap PTFI dan PT NNT.
"Diperkirakan tahun ini Rp 1,4 triliun Newmont. Totalnya Rp 2,88 triliun, hampir sama keduanya. Tahun lalu realisasinya Rp 3,9 triliun kalau digabungkan nyaris 90 persen dua-duanya," jelasnya.
Untuk diketahui, izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia telah habis pada 28 Januari 2016. Namun perusahaan tersebut belum mendapat rekomendasi ekspor dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sehingga tidak bisa memperpanjang izin ekspor konsentrat.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan, sampai saat ini perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut belum memenuhi syarat rekomendasi ekspor, yaitu penambahan uang jaminan kesungguhan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebesar US$ 530 juta.
"Belum mendapat rekomendasi ekspor karena memang belum menyerahkan dana US$ 530 juta sebagai jaminan," kata Bambang. (Amd/Gdn)
Advertisement