Liputan6.com, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Anton Gunawan meminta Bank Indonesia (BI) untuk menahan penurunan suku bunga acuan (BI Rate). Penyesuaian BI Rate yang terlalu cepat akan berdampak buruk terhadap likuiditas perbankan.
"Penurunan suku bunga jangan kecepatan sekali kayak gini, karena kalau terlalu cepat akan punya dampak negatif," katanya saat Diskusi bersama International Monetary Fund (IMF) di Gedung Universitas Atmajaya, Jakarta, Senin (21/3/2016).
Anton memperkirakan, dengan kebijakan ini bakal terjadi perebutan dana antara pemerintah dan perbankan atau crowding out sehingga likuiditas makin ketat.
Kebijakan lain yang diperkirakan berdampak buruk terhadap dana perbankan, antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait aturan kewajiban Dana Pensiun dan Asuransi memegang Surat Utang Negara (SUN). "Perkiraan kami untuk aturan itu, dana perbankan yang akan shifting sampai Rp 63 triliun," jelasnya.
Baca Juga
Di samping itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memaksa daerah untuk membelanjakan anggaran untuk kegiatan produktif. Jika tidak, sanksinya dana segar diganti dengan Surat Berharga Negara (SBN).
"Dengan aturan itu, sedikit banyak uang yang ditaruh di bank-bank, akan ditarik sehingga bisa membuat likuiditas bank berkurang hampir Rp 50 triliun," ujarnya.
Lebih jauh Anton mengungkapkan, BI masih diliputi kekhawatiran terjadinya arus modal keluar (capital outflow) karena dana yang tersimpan hanya dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, BI menaikkan suku bunga di Sertifikat BI agar dana asing lebih tertahan dalam jangka panjang. "Itulah kebijakan mau menurunkan suku bunga tidak masalah, tapi harus hati-hati," tegasnya.
Mantan Kepala Ekonom Bank Danamon ini pun mengkritisi rencana mengarahkan tingkat bunga simpanan dan kredit ke level satu digit, baik untuk korporasi, komersial, maupun mikro termasuk Usaha Kecil Menengah (UKM) seiring penurunan BI Rate.
Menurut Anton, sangat sulit bagi perbankan memangkas tingkat bunga kredit mikro karena alasan biaya overhead sangat tinggi, diantaranya biaya pengumpulan dana, pemberian kredit ke nasabah, dan lainnya.
"Di perbankan, overhead cost-nya di segmen mikro bisa sampai 7 persen. Kalau dipaksa begitu single digit, saya rasa BPR pun akan kewalahan dan tutup, pada mati. Jadi tidak akan bisa (single digit)," terangnya. (Fik/Gdn)