Ini Daftar Gratifikasi yang Harus Ditolak oleh PNS

KPK sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Mei 2016, 21:14 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2016, 21:14 WIB
20160215-Rakor-Jakarta-Helmi-Afandi
Ketua KPK Agus Rahardjo tertawa usai rapat koordinasi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/2). Rapat membahas soal tindak lanjut dan pengawasan atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara serta sektor energi tahun 2016. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) menolak beberapa gratifikasi ‎yang masuk dalam radar pengawasannya. Bentuknya mulai dari tiket perjalanan dinas sampai embel-embel ucapan terima kasih berupa uang dolar AS.

Ketua KPK, Agus Rahardjo mengungkapkan, korupsi terjadi bisa karena suap, gratifikasi, dan lainnya. ‎Saat ini, batas maksimal pemberian gratifikasi yang diperbolehkan kepada PNS hanya Rp 1 juta. Sedangkan di luar negeri, pemberlakuannya senilai US$ 50 atau sekitar Rp 675 ribu (kurs Rp 13.500 per dolar AS).

"Kalau di atas ketentuan itu, berarti suap," tegas Agus saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (26/5/2016).

Adapun beberapa contoh gratifikasi yang harus ditolak para PNS adalah:

1. Pemberian tiket perjalanan dinas
2. Pemberian hadiah seperti mobil dan rumah
3. Pemberian hadiah saat pernikahan melampaui batas, seperti biaya event organizer atau konsumsi ditanggung pengusaha tertentu
4. Memberikan potongan harga khusus kepada pejabat negara atau PNS
5. Biaya ongkos naik haji
6. Pemberian hadiah ulang tahun
7. Pemberian uang ucapan terima kasih. Model paling banyak dalam bentuk mata uang dolar AS dengan alasan supaya ringkas.

"‎Kalau reformasi birokrasi berjalan tuntas, hal-hal semacam gratifikasi dan korupsi bisa dihindari. Tapi jangan diskriminatif juga pemberlakuan reformasinya. Kalau sama-sama bekerja sebagai supir antara Kementerian satu dengan yang lain harus sama gajinya, supaya menghindari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," jelas Agus.

KPK, sambungnya, sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Di mana KPK perlu menangani praktik korupsi di kalangan swasta. Alasan Agus, pihak swasta saat ini masih belum tersentuh penelusuran KPK sehingga praktik korupsi menjadi masif.

"Banyak praktik korupsi di perusahaan‎, misalnya pembukuan keuangan bisa dobel, saat ketemu bankir, laporannya beda, dan dengan pemilik saham pun beda. Itu adalah tindak pidana korupsi yang harus ditertibkan. Tapi kita punya aturan pelaksanaan UU Nomor 7/2006 yang bisa diimplementasikan, kita juga sedang bekerja membangun sistem karena untuk bangsa yang lebih baik ke depan," terang Agus.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya