Tebusan Tax Amnesty Diprediksi Hanya Tercapai Rp 140 Triliun

Paling penting dalam program tax amnesty, pemerintah harus mampu meningkatkan kepatuhan jangka panjang melalui basis pajak.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 05 Des 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 05 Des 2016, 09:00 WIB
Paling penting dalam program tax amnesty, pemerintah harus mampu meningkatkan kepatuhan jangka panjang melalui basis pajak.
Paling penting dalam program tax amnesty, pemerintah harus mampu meningkatkan kepatuhan jangka panjang melalui basis pajak.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), ‎B Bawono Kristiaji memperkirakan, uang tebusan dari program pengampunan pajak (tax amnesty) akan mencapai hingga Rp 140 triliun hingga akhir Maret 2017. Jumlah ini masih di bawah target yang dipatok pemerintah Rp 165 triliun.

"Perhitungan kasarnya, kami optimistis uang tebusan yang bisa didapat dari tax amnesty sekitar Rp 130 triliun-Rp 140 triliun sampai akhir periode (31 Maret 2017)," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (5/12/2016).

Sementara itu, Bawono memproyeksikan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dapat mengumpulkan uang tebusan sekitar Rp 100 triliun sampai dengan 31 Desember 2016 atau berakhirnya masa periode II tax amnesty.



Dari data dashboard Ditjen Pajak hingga saat ini, uang tebusan berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) sebanyak 477.516 SPH mencapai Rp 95,3 triliun. Sedangkan berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP), uang tebusan mencapai Rp 99,1 triliun atau tidak mengalami perubahan sejak beberapa hari lalu.

Menurut Bawono, paling penting dalam program tax amnesty, pemerintah harus mampu meningkatkan kepatuhan jangka panjang melalui basis pajak baru bukan hanya mengejar uang tebusan saja.  

"Ini adalah tantangan terbesar pemerintah untuk bisa memanfaatkan momentum tax amnesty. Tidak boleh ada lagi tax amnesty jilid II dan III, tapi butuh kepatuhan jangka panjang, bukan lagi penerimaan jangka pendek," harap Bawono.

Tantangan itu, katanya, pertama, perluasan basis data harus dilanjutkan dengan manajemen data yang terintegrasi dan mampu dioptimisasi untuk keperluan pemetaan potensi, verifikasi, data matching, dan lainnya. Data tersebut dapat digunakan pemerintah untuk intensifikasi lebih lanjut.

Pemerintah harus mengirim sinyal bahwa penegakkan hukum paska program tax amnesty. Diiringi dengan komitmen membangun kepercayaan publik serta memiliki semangat untuk memberikan pelayanan pajak yang lebih baik.

"Adanya perbaikan kepatuhan terutama dari Wajib Pajak Orang Pribadi diharapkan dapat meningkatkan kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi yang selama ini masih lemah," Bawono menerangkan.

Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Riant Nugroho meminta pemerintah segera mengevaluasi program tax amnesty. Sebab dia memperkirakan, penerimaan dari tax amnesty hanya akan tumbuh 10-20 persen hingga periode III dari realisasi saat ini apabila pemerintah tidak mengambil langkah perbaikan di tengah jalan.

"Pemerintah evaluasi tax amnesty saja dulu, apakah perlu direvisi atau ada perbaikan. Bisa juga di hold dulu, ini bukan hal yang jelek kok, Sri Mulyani akui saja kalau ada yang perlu diperbaiki, tidak perlu malu. Jujur, dan rakyat pasti akan menerima," terangnya.

Dengan langkah perbaikan yang berbeda untuk pelaksanaan tax amnesty di sisa periode, Riant berharap, program ini akan berjalan lebih maksimal, pemerintah mendapatkan citra baik, termasuk kepercayaan lagi dari masyarakat atau pemilik dana.

"Ekonomi lagi susah, pemerintah empati sedikit lah sehingga repatriasi tidak akan mudah. Tapi kalau pemerintah bisa menjaga kepercayaan, mudah-mudahan uang berbondong-bondong masuk. Masalahnya sekarang ada trust, tapi belum cukup," papar Riant.(Fik/Nrm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya