Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) menyatakan saat ini merupakan waktu yang cocok untuk melaksanakan redenominasi atau penyederhanaan nominal rupiah karena alasan kondisi stabilitas ekonomi Indonesia, namun tidak bagi DPR. DPR menilai masih ada isu-isu politik yang berpotensi mengganggu jalannya redenominasi.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Johny G Plate mengungkapkan, pelaksanaan redenominasi membutuhkan stabilitas ekonomi maupun politik. Jika dipaksakan tanpa adanya stabilitas, maka redenominasi hanya akan menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Baca Juga
"Dari sisi ekonomi sih baik, raih investment grade, sovereign rating baik, pertumbuhan ekonomi bagus di antara negara-negara G20, inflasi rendah. Tapi dari sisi politik, ekses dari Pilgub DKI Jakarta masih ada kekhawatiran politik, apalagi ada pesta demokrasi lebih besar Pilkada serentak di 2018," jelasnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Johny berpandangan, redenominasi atau penyederhanaan angka nol pada rupiah ini sangat penting. Alasannya karena digit terlalu banyak memicu mahalnya biaya transfer keuangan di Indonesia.
Advertisement
DPR menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Redenominasi. Pertama, jumlah angka nol yang akan dipangkas.
BI mengusulkan penghapusan tiga nol di belakang karena lebih dipahami masyarakat. Sedangkan Fraksi Nasdem mengajukan usulan pemotongan empat nol supaya setara dengan negara-negara ASEAN lain, seperti Singapura.
Kedua, terkait kebiasaan masyarakat. BI dan pemerintah harus meyakinkan bahwa pemotongan angka nol ini tidak mengurangi nilai, dan berdampak ke inflasi. Tujuannya agar tidak menimbulkan kepanikan masyarakat.
Ketiga, menyangkut jadwal pelaksanaan redenominasi dan masa transisi. Di Turki contohnya, membutuhkan masa transisi lima tahun dalam menerapkan redenominasi. Terakhir, soal biaya untuk mencetak uang baru dalam rangka redenominasi.
"Hal-hal ini yang belum dibicarakan BI. BI sudah melakukan forum group discussion dengan Komisi XI beberapa waktu lalu. Tapi redenominasi belum masuk Prolegnas tahun ini," Johny menuturkan.
Menurut dia, meskipun redenominasi penting, namun untuk saat ini paling mendesak membahas revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNB).
Dia menggambarkan, tekanan fiskal sekarang ini cukup besar. Defisit anggaran mencapai 2,41 persen untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Bahkan ada ide melebarkan defisit anggaran lantaran kebutuhan anggaran pemerintah sangat besar, namun kemampuan APBN terbatas.
"Jadi kita butuh penerimaan negara yang besar, terutama dari pajak. Yang paling mendesak kan untuk kepentingan penerimaan, reformasi perpajakan, revisi UU KUP dan PNBP supaya basis pajak meningkat. Yang bikin tambah pusing ada Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan," tandas Johny.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo sebelumnya mengungkapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi atau pengurangan angka nol dalam mata uang rupiah harus segera dilakukan. Alasannya, kondisi ekonomi sangat mendukung untuk menjalankan kebijakan redenominasi.
Agus menjelaskan, salah satu syarat untuk bisa melaksanakan redenominasi adalah kondisi ekonomi yang stabil. Saat ini, Indonesia tengah berada dalam tahap tersebut yang ditandai dengan angka inflasi yang terjaga.
"Saat ini sudah cocok untuk melakukan itu (redenominasi), justru karena inflasi terkendali, ekonomi terjaga, ekonomi kita kemarin juga tumbuh 5,01 persen, itu sudah recover dibandingkan 2016," kata Agus.