Tiga Tantangan Terbesar Industri Listrik Nasional

Terdapat berbagai tantangan mendesak yang menghambat industri ketenagalistrikan saat ini, termasuk soal perkembangan Program 35GW.

oleh Nurmayanti diperbarui 06 Jun 2017, 08:20 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2017, 08:20 WIB
(Foto: Liputan6.com/ M Syukur)
Pembangunan pembangkit listrik

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan PwC Indonesia merilis tiga tantangan terbesar industri listrik nasional. Ketiga tantangan itu yakni, ketidakpastian regulasi, kurangnya koordinasi di antara Kementerian/lembaga pemerintah lainnya, dan pengelolaan Program 35 GW.

Tantangan ini merupakan temuan hasil Survei APLSI bekerjasama dengan PwC Indonesia belum lama ini. APLSI dan PwC Indonesia meluncurkan edisi pertama laporan Survei Industri Ketenagalistrikan Indonesia bertajuk Melistriki Bangsa: Survei Industri Ketenagalistrikan Indonesia Tahun 2017.

Laporan tersebut merilis hasil survei dari beragam responden, termasuk perwakilan dari pemilik dan operator Produsen Listrik Swasta (PLS), pengembang pembangkit listrik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Pemerintah.

Beberapa tantangan utama sektor ketenagalistrikan di Indonesia yakni, Ketidakpastian regulasi, kurangnya koordinasi di antara kementerian atau lembaga pemerintah lainnya dan pengelolaan Program 35 GW. 

Survei itu mengungkapkan pemerintah telah melakukan sejumlah inisiatif untuk mengatasi tantangan dalam industri ketenagalistrikan.

“Laporan ini mengungkap bahwa sebagian besar responden survei optimis bahwa arah reformasi peraturan sudah positif, dan bahwa terdapat peluang-peluang yang signifikan bagi PLS untuk bekerja sama dengan Pemerintah dalam meningkatkan kinerja sektor ketenagalistrikan,” ujar Power & Utilities Partner PwC Indonesia, Yanto Kamarudin.  

Namun menimbang komentar-komentar dari para responden yang disurvei tersebut terkait seringnya dilakukan perubahan terhadap regulasi, maka pelaku usaha masih menanti perencanaan, kejelasan pengadaan, dan konsistensi Pemerintah agar mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.

“Para responden berpandangan bahwa apabila pendongkrak kebijakan seperti perbaikan alokasi risiko dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreements/PJBL) diterapkan, maka hal ini dapat mendukung elektrifikasi dan keandalan pasokan listrik,” ujar Yanto.

Terkait iklim investasi, para investor telah melihat adanya dukungan kuat Pemerintah. “Meskipun terdapat kekhawatiran itu, para investor yang kami survei yakin bahwa Pemerintah telah menunjukkan dukungannya terhadap investasi swasta dan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para investor swasta di industri ketenagalistrikan,” ujar Yanto.

Ketua APLSI, Ali Herman mengatakan, pengembangan energi dan sumber daya secara umum dan industri ketenagalistrikan secara khusus memegang peranan besar dalam pertumbuhan suatu negara. “Laporan ini mengakui peranan sektor swasta dalam mendukung pertumbuhan dan keandalan industri ketenagalistrikan Indonesia,” ujar Ali.

Selain tiga tantangan utama itu, survei juga mengungkapkan sebanyak 67 persen responden mengkhawatirkan tentang ketersediaan pasokan listrik untuk lima tahun ke depan.

Kekhawatiran ini konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan seputar ketepatan waktu pelaksanaan rencana Program 35 GW Pemerintah. Hambatan lain yang menjadi kekhawatiran industri adalah potensi kurangnya tenaga kerja terampil di sektor ketenagalistrikan.

Survei itu juga mengungkapkan permintaan dan teknologi yang membentuk lanskap industri ketenagalistrikan.

Lebih dari separuh peserta survei telah mengidentifikasi tiga megatren global sebagai faktor-faktor penting yang mempengaruhi sektor ketenagalistrikan Indonesia, yaitu pertumbuhan penduduk, pembangunan kota-kota megapolitan dan disruptive technologies.

Seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, permintaan pasokan listrik di Indonesia secara year-on-year terus tumbuh sehingga Indonesia tengah menghadapi permintaan pasokan listrik yang sangat besar.

Para responden survei juga menyoroti peluang-peluang di luar pembangkit, transmisi dan distribusi listrik terpusat, yang didorong oleh peralihan ke arah energi terbarukan.

Terungkap juga, bahwa baik pemerintah maupun industri sangat mengetahui adanya ‘Trilema Energi’ – trade-off antara keamanan, keterjangkauan dan kesinambungan pasokan.

Para peserta survei menetapkan keamanan pasokan sebagai prioritas utamanya di tahun 2016, disusul ketat oleh keterjangkauan, kemudian keberlanjutan (energi bersih).

Dengan adanya prioritas-priorias ini, terlihat fokus kebijakan tetap berada pada pembangunan PLTU yang menggunakan batubara (yang volumenya melimpah dan harganya murah di Indonesia) dalam jangka pendek, sejalan dengan  bauran energi untuk Program 35GW yang sekitar 60 persen diantaranya merupakan pembangunan PLTU.

Namun prioritas ini bergeser ketika para responden survei memandang dalam lima tahun ke depan, dimana keberlanjutan diharapkan menjadi isu yang lebih diprioritaskan daripada keamanan pasokan. Hasil ini kembali mendukung potensi perpindahan menuju pemakaian energi terbarukan dalam satu dekade ke depan.

Sekitar 69 persen responden mengindikasikan bahwa kebijakan kerjasama antara Pemerintah dan swasta (“KPS”) yang lebih andal dan alokasi risiko yang lebih berimbang dalam PJBL akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan elektrifikasi dan keandalan pasokan.

Selain itu, 69 persen responden lainnya menekankan bahwa pemisahan kegiatan pembangkitan, transmisi dan distribusi dan liberalisasi pasar ketenagalistrikan akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan elektrifikasi dan keandalan pasokan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya