Petani Tebu Minta Cabut Pajak Gula, Ini Respons Pemerintah

Kebijakan pungutan PPN 10 persen terhadap komoditas gula memang merugikan banyak orang, terutama petani dan pelaku bisnis skala kecil.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Jul 2017, 08:31 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2017, 08:31 WIB
Kebijakan pungutan PPN 10 persen terhadap komoditas gula memang merugikan banyak orang, terutama petani dan pelaku bisnis skala kecil.
Kebijakan pungutan PPN 10 persen terhadap komoditas gula memang merugikan banyak orang, terutama petani dan pelaku bisnis skala kecil.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen diprotes petani tebu. Mereka mendesak pemerintah mencabut PPN terhadap komoditas gula karena dianggap membebani, bahkan merugikan para petani dan pedagang gula.

Mendengar protes tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suahasil Nazara, menjelaskan pungutan PPN 10 persen atas komoditas gula pasir dan produk pertanian atau perkebunan karena ada uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007. PP ini mengatur barang strategis bebas pengenaan PPN, termasuk penyerahan barang hasil pertanian atau perkebunan.

"Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengajukan uji materi tersebut dan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan itu," tegas Suahasil saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (10/7/2017).

Lebih jauh, katanya, dengan keputusan MA tersebut, maka barang hasil pertanian atau perkebunan bukan barang strategis lagi berdasarkan Pasal 16B Undang-Undang PPN. "Konsekuensinya ya harus dipungut PPN 10 persen atas penyerahannya," Suahasil menerangkan.

Menurut Suahasil, kebijakan pungutan PPN 10 persen terhadap komoditas gula memang merugikan banyak orang, terutama petani dan pelaku bisnis skala kecil menengah.

Namun yang harus diingat, ujarnya, dalam UU PPN memberikan threshold Rp 4,8 miliar, sehingga pengusaha tidak wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN saat menjual barang.

"Kalau memang PKP rugi, kan tidak perlu bayar pajak. Hanya pengusaha yang untung yang bayar pajak sebagai persentase atas keuntungan (bukan revenue)," tegas Suahasil.

Ia mengatakan, jika mereka menjadi PKP, konsekuensinya harus memungut PPN 10 persen, dan yang memungut petani tersebut akan menjadi pajak masukan bagi pembeli dan dapat dikreditkan (dikurangkan).

"Jadi penilaian ini akan mengurangi keuntungan petani agak missleading, mengingat PPN bukan biaya yang mengurangi laba. Karena dengan sistem pajak masukan dan keluaran, harusnya tidak bikin pendapatan turun," kata Suahasil.

Terkait apakah pemerintah akan mencabut atau mengkaji lagi kebijakan PPN 10 persen atas gula, Suahasil menegaskan bahwa pemerintah hanya menjalankan keputusan MA. "Terakhir kan putusan MA, dari hasil uji materi. Pemerintah hanya menjalankan saja," ujarnya.

Sebelumnya, sekelompok petani tebu mendatangi Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengadukan nasib mereka pada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, atau yang akrab dengan panggilan Cak Imin. Para petani tebu keberatan dengan kebijakan pajak gula yang dibebankan pada petani.

"Petani tebu di Jawa Timur sedang gundah dan gelisah dengan kebijakan pajak yang akan diterapkan pemerintah. Makanya, kami mengadu ke Cak Imin agar Beliau sebagai Ketua Umum DPP PKB memperjuangkan kegelisahan petani tebu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi)," kata Ketua Umum Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat, Jawa Timur (Jatim), Muhammad Hamim.

Petani tebu meminta pemerintah mencabut pajak penambahan nilai (PPN) terhadap komoditas gula. Sebab, pajak tersebut dibebankan kepada petani, bukan kepada para pedagang gula.

"Pedagang gula meminta kepada petani menyisihkan dananya untuk membayar pajak PPN tersebut sebesar 10 persen. Artinya, petani tidak mendapat untung karena beban biaya produksi lebih besar dari pendapatan yang diperoleh. Sepuluh persen itu merupakan keuntungan petani," ujar dia.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya