Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan, dari sekitar 1.500 importir berisiko tinggi (very high risk importer), ada 679 importir tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Para importir ini melakukan praktik penyogokan untuk meloloskan keluar masuk barang di pelabuhan dan bandara.
Sri Mulyani menyebut, volume impor berisiko tinggi kurang dari 5 persen, atau tepatnya 4,7 persen dari total volume impor di Indonesia. Impor berisiko tinggi berpeluang penyelewengan yang lebih besar, sehingga dapat mengakibatkan beredarnya barang-barang ilegal.
"Jumlahnya 1.300-1.500 importir. Yang sudah ditertibkan berdasarkan bahwa mereka tidak memiliki NPWP sebanyak 679 importir. Kalau dari sisi nilai, belum tahu yang mereka selundupkan," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Advertisement
Baca Juga
Ia mengaku, barang-barang impor yang kerap diselundupkan atau yang memiliki risiko tinggi, di antaranya produk tekstil, elektronik, dan produk konsumsi secara borongan. Berbagai macam barang masuk dalam satu kontainer sehingga mereka perlu ditangani dalam bentuk pemeriksaan.
"Ini yang kemudian menimbulkan pengurangan dwelling time jadi sulit karena mereka dari sisi transparansi barang-barang yang ada dalam satu kontainer bermacam variasinya dan menjadi subjek risiko diperiksa," ujar dia.
Lebih jauh Sri Mulyani menilai, importir nakal ini terus menerus melakukan praktik penyimpangan dengan berbagai modus. "Ini bisa disebut kartel karena mereka melakukan tindakan yang mengambil risiko tinggi, entah dalam penyelundupan sebagian. Barangnya sih masuk tapi isinya bisa macam-macam, mereka bisa nyogok aparat kita," tutur Sri.
Sri Mulyani menegaskan, terhadap importir yang selama ini ketahuan tidak pernah membayar pajak atau tidak memiliki NPWP, pemerintah akan tutup bisnisnya. "Kalau mereka membayar pajak, tapi impor dengan dokumen impor yang berbeda, kita kasih tindakan. Sedangkan impor ilegal menjadi legal kita dorong supaya penerimaan negara baik," tambahnya.
Dengan demikian, ia berharap penertiban impor berisiko tinggi dapat menciptakan persaingan usaha yang adil, mendorong perekonomian nasional, sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara.
"Karena walaupun volume impor berisiko tinggi masih kecil, tapi impor itu merusak tatanan ekonomi, merusak industri dalam negeri, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Praktik-praktik itu (suap) juga melukai reputasi bea cukai, dan lainnya," kata dia.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: