Bulog Bantah Jual Beras Subsidi ke PT IBU

Perum Bulog menegaskan tidak menjual beras subsidi atau beras rakyat sejahtera (rastra) ke PT Indo Beras Unggulan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 24 Jul 2017, 11:45 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2017, 11:45 WIB
20161227-Beras-Jakarta-AY
Tumpukan karung beras di pasar induk Cipinang, Jakarta, Selasa (27/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Perum Bulog menegaskan tidak menjual beras subsidi atau beras rakyat sejahtera (rastra) ke PT Indo Beras Unggulan (PT IBU). Dengan demikian, anak usaha dari PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) itu tak memiliki beras Bulog.

Demikian disampaikan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti saat dihubungi Liputan6.com seperti ditulis di Jakarta, Senin (24/7/2017).

"Yang bisa saya sampaikan adalah tidak ada beras rastra Bulog yang dijual ataupun dimiliki PT IBU," kata dia.

Disinggung mengenai beras subsidi yang dimiliki PT IBU, Djarot tak komentar lebih jauh. Menurut dia, hal itu lebih baik ditanyakan kepada aparat penegak hukum.

"Maaf kalau definisi ataupun yang dimaksudkan dengan beras subsidi, saya tidak dalam posisi yang memahami. Mungkin akan lebih tepat kalau hal tersebut ditanyakan kepada aparat atau para ahli hukum," ucap dia.

Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya menegaskan kerugian negara terkait dugaan pemalsuan dan pengoplosan beras subsidi di gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) mencapai Rp 10 triliun.

"Hitungan kerugiannya seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg. Jika diasumsikan selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg dengan pengkalian beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun," ujar Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Ana Astrid dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (22/7/2017).

Ana mengungkapkan ini menanggapi kabar ada kebohongan publik perihal kerugian negara terkait penggerebekan gudang PT IBU di Bekasi pada Kamis, 20 Juli 2017.

Sementara, dia menjelaskan, yang dimaksud beras subsidi dimulai saat proses memproduksi beras tersebut. Terdapat subsidi input, yaitu subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun. Ini ditambah bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari pemerintah yang nilainya dikatakan mencapai triliunan rupiah.

"Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (rastra) untuk rumah tangga sasaran (prasejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui Bulog dan tidak diperjualbelikan di pasar," ujar Ana.

Padi varietas IR64 merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru (VUB) di antara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.

“Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ucap Ana.

Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan IR64 baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggul baru itu adalah sejenis IR. Apa pun varietasnya yang sebagian petani menyebut benih jenis IR.

“Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram gabah," ujar Ana.

Dari hal ini, menurut Ana, PT IBU diketahui membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.

Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang perusahaan peroleh tinggi bisa hingga 100 persen. "Mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi," tutur dia.

Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dengan harga normal medium.

Lebih lanjut Ana menegaskan, negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, tetapi petani tidak menikmati.

Produk dari petani diolah perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya