HEADLINE: Gebrakan Infrastruktur Jokowi Setelah 72 Tahun Merdeka

Presiden Jokowi ingin rakyat Indonesia yang berada di kawasan perbatasan dan pulau-pulau terdepan juga merasakan buah pembangunan.

oleh NurmayantiArthur GideonIlyas Istianur PradityaZulfi Suhendra diperbarui 17 Agu 2017, 00:00 WIB
Diterbitkan 17 Agu 2017, 00:00 WIB
Siap Beroperasi di Tahun 2019, Jokowi Tinjau Proyek MRT
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat meninjau proyek MRT di Setia Budi, Jakarta, Kamis (22/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo terus menggenjot pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur dalam lima tahun mencapai Rp 5.500 triliun--meski tak semuanya didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR 2017, Rabu (16/8/2017), Presiden menyatakan keinginannya agar rakyat Indonesia yang berada di pinggiran, di kawasan perbatasan, di pulau-pulau terdepan, dan di kawasan terisolasi merasakan kehadiran negara dan buah pembangunan. 

"Semuanya setara mendapatkan manfaat dari pembangunan," demikian pidato Presiden. “Kita juga ingin rakyat di Pulau Rote bisa merasakan manfaat pembangunan infrastruktur, lancarnya konektivitas, dan turunnya biaya logistik.”

Untuk merealisasikan cita-cita itu, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur terus dilecut. Pada 2014, porsi anggaran infrastruktur terhadap total belanja negara hanya sebesar 8,7 persen. Setahun kemudian porsi tersebut membesar menjadi 14,2 persen, pada 2016 naik menjadi 15,2 persen, dan di tahun ini berada di level 18,6 persen.

Menurut data Kementerian Keuangan, rata-rata peningkatan alokasi belanja infrastruktur untuk tahun 2011-2014 versus 2015-2017 mencapai 123,4 persen. Tahun ini, anggaran infrastruktur dipatok di angka Rp 387,3 triliun. Angka ini di bawah anggaran pendidikan yang Rp 416 triliun dan di atas anggaran kesehatan Rp 104 triliun. Tahun depan, dana infrastruktur mencapai Rp 409 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pembangunan infrastruktur wajib hukumnya untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain dan meningkatkan daya saing. "Infrastruktur bukan untuk kemewahan, tapi kebutuhan agar bangsa ini mampu berkompetisi bangsa lain,” Sri Mulyani menegaskan.

Lonjakan anggaran untuk infrastruktur oleh Jokowi sepertinya untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang pembangunan infrastruktur. Seperti ditulis majalah The Economist edisi 27 Februari 2016 dalam artikelnya berjudul "The 13.466-Island Problem", Indonesia dalam beberapa dekade terakhir mengalami "pengabaian" dan under investment di bidang pembangunan infrastruktur.

Pada pertengahan 1990-an, Indonesia rata-rata mengalokasikan dana sebesar 8 persen dari Produk Domestik Bruto per tahun untuk pembangunan infrastruktur. Setelah krisis moneter, angka itu anjlok menjadi 3 persen dan kemudian perlahan meningkat kembali pada 2014 menjadi 6,4 persen. Namun, angka ini masih tertinggal dibanding negara negara lain, seperti Tiongkok, Malaysia, dan Vietnam yang menjaganya di angka 7 persen.

Rendahnya investasi di bidang infrastruktur menyebabkan biaya logistik meroket. Pada periode 2004-2011, tulis The Economist, rata-rata biaya logistik mencapai 27 persen dari PDB. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam (25 persen), Thailand (20 persen), Malaysia (13 persen), dan Singapura sebesar 8 persen. 

Sudah Lama di Luar, Pertama di Indonesia

Pemerintah sedang membangun sejumlah proyek infrastruktur yang baru ada pertama kali di Indonesia. Proyek tersebut adalah Mass Rapid Transit (MRT), yang sudah diinisiasi sejak Oktober 2013, saat Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pembangunan MRT digenjot untuk mengurai kemacetan yang kian menggila di Jakarta.

Nilai investasi proyek ini mencapai lebih dari Rp 36 triliun, terdiri dari Tahap 1 untuk koridor Lebak Bulus-Bundaran HI senilai Rp 12 triliun dan Tahap 2 untuk koridor Bundaran HI-Kota dengan nilai investasi Rp 24,9 triliun. Target penyelesaian dipatok pertengahan tahun depan.

Sejauh ini, pembangunan koridor Lebak Bulus-Bundaran HI telah mencapai 64,1 persen, sedangkan koridor Bundaran HI-Kota 88,26 persen.

Jika dibandingkan negara tetangga, pembangunan MRT di Jakarta jauh tertinggal. Malaysia telah memiliki MRT sejak enam tahun lalu. Singapura jauh lebih lama lagi, sejak akhir 1987. Negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki MRT adalah Filipina, yang sudah beroperasi sejak 1984.

Indonesia juga tengah membangun LRT (Light Rapid Transportation). Proyek ambisius ini juga baru pertama kali hadir di Tanah Air. Pemerintah membangun LRT di dua wilayah sekaligus, yaitu Jabodebek dan Palembang.

Untuk proyek LRT Jabodebek, peletakan batu pertama dilangsungkan pada 9 September 2015. Proyek ini menelan investasi sebesar Rp 23 triliun. PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebagai pengembang proyek ini menargetkan pembangunan bisa selesai pada semester I 2019 mendatang.

LRT Palembang dibangun guna menunjang ajang akbar Asian Games 2018 yang akan digelar di Jakarta dan Kota Pempek itu. Kereta ringan ini menghubungkan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan Kompleks Olahraga Jakabaring.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menerangkan realisasi proyek LRT Palembang sudah mencapai 42,6 persen dan bisa selesai tepat waktu.

Selain MRT dan LRT, Indonesia juga tengah membangun Automated People Mover System atau Skytrain yang merupakan kereta tanpa awak di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) di Cengkareng, Tangerang. Pembangunan proyek senilai Rp 950 miliar ini sudah rampung dan saat ini tengah memasuki tahap uji coba. Dengan Skytrain, penumpang Bandara Soetta akan lebih mudah berpindah dari satu terminal ke terminal lain dengan alat transportasi ini.  

Rencananya, Skytrain akan resmi beroperasi pertengahan September mendatang. Di tahap pertama, Skytrain baru melayani Track A sepanjang 1.700 meter.

Memotong Disparitas

Selain di Jakarta, pemerintahan Jokowi juga fokus membangun proyek-proyek infrastruktur di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua, agar pertumbuhan ekonomi tak terus menumpuk di Jawa.

Salah satu proyek infrastruktur monumental yang sedang dibangun di luar Jawa adalah Trans Papua. Proyek ini menembus medan yang berat, melintasi hutan, bukit, dan sungai, yang membentang sepanjang 3.259,4 km. Hingga tahun ini, pembangunan jalan sudah sepanjang 2.905,75 km. Selama dua tahun terakhir, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 18,54 triliun untuk pembangunan jalan dan jembatan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono mengungkapkan, pembangunan jalur perbatasan dari 1.098,2 km yang direncanakan, yang sudah tersambung sepanjang 884 km.

Daerah perbatasan Kalimantan juga menjadi perhatian Jokowi. Alasannya karena kawasan perbatasan merupakan beranda terdepan dari Republik ini. Pemerintah pun mempercepat pembangunan jalan perbatasan Kalimantan. Selain untuk kedaulatan, pembangunan jalan paralel perbatasan menggali potensi ekonomi di kawasan Kalimantan yang belum tergarap.

Jalan perbatasan membentang paralel dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Total panjang keseluruhannya mencapai sekitar 1.900 km.

Dari total panjang jalan tersebut, baru 1.582 km yang sudah tembus atau mayoritas sudah bisa dilewati kendaraan. Dari total tersebut, sepanjang 520 kilometer merupakan pembukaan jalan baru yang dikebut dalam dua tahun terakhir ini. Pemerintah menargetkan keseluruhan jalan paralel perbatasan Kalimantan akan tembus di 2019.

Di wilayah barat, Sumatera pun tak ketinggalan. Pembangunan Tol Trans Sumatera yang akan menghubungkan provinsi paling atas hingga paling bawah di Pulau Sumatera itu bisa menumbuhkan simpul-simpul perekonomian yang baru.

Ada sejumlah ruas yang masuk dalam jaringan tol ini, namun yang diprioritaskan hanya 4 ruas yakni Medan-Binjai, Palembang-Indralaya, Pekanbaru-Kandis-Dumai dan Bakauheni-Terbanggi Besar.

Sejumlah ruas sudah masuk masa konstruksi, namun masih ada juga yang masih dalam tahap pembebasan lahan. Selain jalur darat, Jokowi juga mendorong pembangunan tol laut. Salah satu mandat dari tol laut ini adalah untuk menekan harga. Selama ini harga di Jawa dan di Papua terpantau sangat jauh. Misalnya, satu sak semen di Jawa dijual di kisaran Rp 75 ribu, tapi di Papua bisa lebih dari Rp 1 juta.

Kementerian Perhubungan mencatat, sejauh ini 13 rute‎ pelayaran tol laut telah beroperasi. Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bay M Hasani‎ mengatakan, 13 rute tersebut dioperasikan secara bertahap, yaitu enam rute pada 2016 dan tujuh rute pada 2017.

 

Kebutuhan Dasar

Selain untuk mengurangi disparitas, proyek infrastruktur oleh Jokowi juga untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Contohnya Program Sejuta Rumah. Untuk diketahui, pasokan rumah yang tak sebanding dengan kebutuhan (backlog) membuat pemerintah mengeluarkan program Sejuta Rumah. Program ini resmi dirilis pada 29 April 2015.

Program Sejuta Rumah dicanangkan sebagai wujud implementasi Nawacita dan Proyek Strategis Nasional. Melalui program ini diharapkan backlog rumah di Indonesia berkurang dari 7,6 juta unit menjadi 5,4 juta unit pada 2019.

Dalam program Sejuta Rumah, upaya penyediaan perumahan bukan hanya dilakukan dengan kebijakan program kepemilikan rumah, tetapi juga dalam skim kepenghunian, sehingga program rumah sewa, rumah khusus dan rumah swadaya juga menjadi prioritas.

Adapun sampai Juli 2017, rumah yang udah terbangun 499.770 unit. Sebelumnya, kurun 2015-2016, rumah yang sudah terbangun sekitar 1,5 juta rumah. Dalam Renstra, kebutuhan dana untuk program ini mencapai Rp 184 triliun. Selain papan, pemerintah juga memenuhi kebutuhan dasar pangan. Namun, hal itu dilakukan bukan dengan langsung memberikan bahan pangan, tetapi dengan membangun infrastruktur. Misalnya, pembangunan Waduk Jatigede yang merupakan waduk terbesar kedua di Asia Tenggara.

Pembangunan waduk yang berada di Sumedang, Jawa Barat ini ternyata telah dirancang sejak zaman Hindia Belanda. Menelan biaya US$ 467 juta, waduk ini selesai dibangun pada 2015. Namun, baru beroperasi penuh pada April 2017.

Kehadiran Waduk Jatigede sangat diharapkan masyarakat khususnya di Pantura Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Sumedang. Waduk tersebut berperan sebagai irigasi, pengendali banjir, pembangkit listrik, dan air baku masyarakat lantaran ketersediaan air di hilir DAS Cimanuk semakin langka pada saat musim kemarau tiba.

Tak hanya itu, di Waduk Jatigede juga tengah dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 110 megawatt yang akan selesai pada 2019. Saat ini pemerintah daerah setempat mengkaji potensi waduk ini sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Kelistrikan juga dianggap sebagai kebutuhan dasar pemerintah. Karena itu, tak heran jika pemerintah menelurkan proyek 35 ribu MW. Salah satu proyek yang terbesar, yaitu PLTU Batang, Jawa Tengah.

Dibangun dengan kapasitas 2x1.000 MW, Pembangkit listrik tenaga uap ultra critical ini disebut-sebut PLTU terbesar di ASEAN.

Proyek senilai Rp 40 triliun tersebut, yang digagas di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sempat mangkrak akibat kendala pembebasan lahan. Hal ini membuat pembangkit yang harusnya mulai dibangun 2010, baru bisa dilaksanakan pembangunannya di era Jokowi. Pada 28 Agustus 2015, Jokowi melakukan ground breaking dan menargetkan proyek ini selesai pada 2020.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya