Liputan6.com, Jakarta - Dalam divestasi saham PT Freeport Indonesia, Pemerintah Pusat harus menjadi pihak pertama yang mengambil saham. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan dana untuk membeli saham Freeport.Â
Direktur Center for Indonesia Resources Strateic Studies (Cirruss) Budi Santoso mengatakan, pemerintah adalah pihak yang paling utama memiliki saham yang dilepas perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. "Pemerintah adalah opsi pertama," kata Budi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Jika pemerintah ‎tidak berminat memiliki saham Freeport, baru ditawarkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), lalu berikutnya ke pihak swasta nasional. "Baru ditawarkan ke BUMN, dan swasta nasional," ucap Budi.
Advertisement
Baca Juga
Karena itu, Budi menegaskan, ‎pemerintah harus sanggup membeli saham Freeport, setelah perusahaan tersebut ikhlas melepas sahamnya, "Tidak ada alasan pemerintah tidak sanggup. Pasti bisa," ‎tegas Budi.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang‎ pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara‎. Peraturan tersebut menyebutkan Perusahaan tambang asing yang melepas sahamnya harus menawarkan Pemerintah ‎terlebih dahulu, kemudian Pemerintah Daerah atau provinsi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan badan usaha swasta nasional.
Dalam Peraturan tersebut juga menyebutkan, setelah 5 tahun sejak berproduksi Perusahan tambang wajib melakukan disvestasi secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51 persen dimiliki peserta Indonesia.
Divertasi saham dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi, tidak boleh kurang dari persentase 20 persen untuk tahun ke enam, 30 persen tahun ke tujuh, 37 persen tahun ke delapan, 44 persen tahun kesembilan, dan 51 persen untuk tahun ke 10.
Untuk diketahui, saat ini pemerintah telah memiliki saham Freeport sebesar 9,36 persen. Dengan begitu, saham yang harus dilepas perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut sebesar 41,64 persen, untuk menggenapi saham menjadi 51 persen.
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
Â
Tunduk
Sebelumnya, PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti keinginan pemerintah Indonesia. Perusahaan ini menyepakati empat poin negosiasi seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, poin yang menjadi kesepakatan terkait pelepasan saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah. Untuk detail mekanisme pelepasan saham dan waktunya, akan dibahas lebih lanjut dalam pekan ini.
"Pertama itu mandat Bapak Presiden bisa diterima Freeport, divestasi yang dilakukan Freeport 51 persen total," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Poin kedua, kata Jonan, berkaitan dengan pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter) harus dilakukan dalam lima tahun, sejak IUPK terbit. Targetnya pembangunan smelter rampung pada Januari 2022.
Menurut Jonan, Freeport juga telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding‎ saat bersatatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, kedua belah pihak menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak ‎pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpajangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.
"Ada perpanjangan masa operasi masimum 2x10 tahun sampai 2031 dan 2041, perpanjangan pertama bisa langsung diajukan," tutup Jonan.
Negosiasi pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia berlangsung sejak April 2017. Hal ini dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Tambang Mineral dan Batu Bara.
Payung hukum tersebut menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca-11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal. Di antaranya mengubah status Kontrak Karya menjadi IUPK, membangun smelter, divestasi 51 persen ke pihak nasional.
Â
Advertisement