Milenial Pilih Menganggur ketimbang Bekerja di Sektor Informal

Dari sekitar 40 juta orang generasi milenial, sekitar 60 persen di antaranya berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Nov 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2017, 17:00 WIB
Bekerja di Kantor
Ilustrasi Foto Bekerja di Kantor (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan generasi milenial di Indonesia lebih memilih untuk menjadi pengangguran dibanding bekerja di sektor informal. Generasi ini merupakan anak muda dengan rentang usia 17 tahun-29 tahun.

Pengamat Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan, keengganan kaum milenial untuk bekerja di sektor informal karena tingkat pendidikan yang relatif sudah lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Dari sekitar 40 juta orang generasi milenial, sekitar 60 persen di antaranya berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas.

"Kebanyakan pendidikan mereka cukup tinggi, 60 persen SMA, itu pendidikan yang cukup tinggi di kalangan milenial, sehingga aspirasinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kalau ayahnya yang lulusan SD atau SMP menjadi buruh, saya mungkin bisa menjadi supervisor. Atau kalau ayah saya dulu informal, maka saya harus bekerja di sektor formal," ujar dia di Kantor CSIS, Jakarta, Jumat (3/11/2017).

Namun sayangnya, ucap dia, saat ini sektor formal di Indonesia tidak berkembang dengan baik, sedangkan sektor informal tumbuh begitu cepat. Hal ini yang membuat generasi milenial ini lebih memilih untuk tidak bekerja ketimbang bekerja di sektor informal.

"Ini data BPS menyatakan 20 persen generasi muda tidak memiliki pekerjaan, mereka lebih memilih sebagai pengangguran. Kalau yang nonmilenial, mereka tidak mau menjadi pengangguran, kalau perlu saya narik ojek, jadi pedagang kaki lima. Tetapi kaum milenial yang pendidikannya lebih tinggi, maka aspirasinya juga lebih tinggi. Mereka tidak mau cuma jadi pekerja di sektor informal," kata dia.

Jika pun harus berwirausaha, kata Yose, maka kaum milenial akan lebih selektif untuk memilik bidang usahanya. Saat ini yang tengah banyak diminati yaitu usaha rintisan (start up) di bidang teknologi.

"Mungkin mereka mau berwirausaha, tetapi yang secara formal. Bukan di sektor usaha mikro atau seperti kaki lima. Mungkin lebih pada start up," ucap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kekhawatiran milenial

Dalam survei CSIS juga terdapat kesimpulan bahwa kalangan milenial saat ini sangat khawatir terhadap terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Hal ini juga sejalan dengan anggapan para pekerja asing menjadi ancaman bagi ketersediaan lapangan kerja.

Yose Rizal mengatakan, dari 600 orang yang disurvei, 25,5 persen di antaranya menyatakan kesulitan yang paling dirasakan saat ini adalah soal keterbatasan lapangan pekerjaan.

Selain itu, tingginya harga sembako dan angka kemiskinan juga dianggap sebagai hal sulit yang dirasakan saat ini. Masing-masing menyumbang persentase 21,5 dan 14,3 persen.

Dalam survei tersebut juga terungkap sebanyak 77,7 persen kaum milenial menganggap keberadaan pekerja asing di Indonesia sebagai ancaman dan merugikan. Sedangkan hanya 22,3 persen saja yang menganggap adanya pekerja asing di dalam negeri sebagai suatu keuntungan.

Sebab, ada ketakutan pekerja asing bakal mengambil alih pekerjaan di Indonesia. Walaupun sebenarnya ini adalah komplementer satu sama lain, karena banyak keterampilan-keterampilan yang tidak ada di Indonesia.

"Cuma memang persepsi seperti itu masih belum bisa ditangkap secara umum baik di kalangan milenial maupun yang lebih tua. Mereka berasa ada ancaman (dari pekerja asing)," ujar dia.

Meski tidak menyukai adanya pekerja asing, kaum milenial menganggap keberadaan perusahaan asing di Indonesia akan membawa keuntungan. Salah satunya karena adanya kesempatan bagi mereka untuk bekerja di perusahaan asing yang dipandang bisa memberikan gaji dengan jumlah yang tinggi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya