Ditjen Pajak Harus Usut Data Orang Tenar RI di Paradise Papers

Jika tidak ikut tax amnesty, harta yang ditemukan tetap dianggap penghasilan, maka dikalikan 2 persen per bulan selama 24 bulan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Nov 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2017, 09:30 WIB
Ilustrasi miliarder (iStock)
Ilustrasi miliarder (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia (UI), Ruston Tambunan meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menelusuri data kepatuhan pajak dari nama-nama Warga Negara Indonesia (WNI) di dokumen surga (Paradise Papers). Hal ini menyusul bocornya 13,4 juta data yang menyeret nama miliarder, pimpinan pemerintahan, dan tokoh bidang politik global maupun Indonesia yang menyembunyikan kekayaan di suaka pajak demi menghindari pajak.

"Ini lucky (untung) buat Ditjen Pajak, sebelum minta resmi, ada yang bocor. Sebelum era Automatic Exchange of Information (AEoI) di September 2018 buat Indonesia, sedikit demi sedikit data ter-disclose dan dengan pertukaran, semua data bisa terungkap karena ada pergerakan dana," kata Ruston saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Menurut Managing Partner Center for Indonesian Tax Studies & Consultancy (CITASCO) ini, beberapa negara surga pajak (tax haven) sudah kooperatif ikut pertukaran informasi otomatis untuk kepentingan pajak. Dengan demikian, tinggal langkah Ditjen Pajak untuk menggunakan basis data tersebut terkait kepatuhan pajaknya.

"Kebocoran ini harus dilihat Ditjen Pajak apakah penempatan lama (perusahaan atau harta) ini sudah dilaporkan belum di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) atau diungkap seluruhnya di Surat Pelaporan Harta (SPH) Tax Amnesty," dia menerangkan.

Ditjen Pajak, disarankannya, melakukan penelitian atau olah dulu data Paradise Papers maupun dari laporan dan pengaduan. Data tersebut, sambung Ruston, juga harus di kroscek, kemudian diberikan imbauan untuk membetulkan SPT atau melaporkan hartanya.

"Kalau tidak digubris atau di follow up, maka bisa dilakukan pemeriksaan kepatuhan pajaknya. Kalau kemarin ikut tax amnesty, dilihat SPH-nya apakah semua dilaporkan karena kalau tidak, sanksinya berat," tuturnya.

Apabila sudah ikut tax amnesty, namun harta belum diungkap seluruhnya, dan ketahuan fiskus pajak, maka Ruston bilang, maka harta itu akan dianggap sebagai penghasilan di 2017.

Dengan begitu, harta dikalikan tarif PPh berlaku dan dikenakan sanksi 200 persen. Jika tidak ikut tax amnesty, harta yang ditemukan tetap dianggap penghasilan, maka dikalikan 2 persen per bulan selama 24 bulan.

"Jadi nama-nama WNI yang disebutkan di Paradise Papers perlu di follow up atau ditelusuri oleh Ditjen Pajak. Tapi basis data ini harus di verifikasi, ini bagus sayang kalau tidak dimanfaatkan," saran Ruston.

Terkait pendirian perusahaan cangkang di negara surga pajak, menurut Ruston, merupakan hal lumrah untuk mendapatkan dana murah di luar negeri. Dia mencontohkan, ada perusahaan ingin mencari dana murah di luar negeri, maka wajar mereka mendirikan offshore company.

"Menjual bond atau obligasi dengan jaminan aset induknya di Indonesia. Setelah dana murah dapat, dipinjamkan lagi di induk usaha di Indonesia. Itu biasa dilakukan perusahaan, jadi tidak semata-mata untuk menghindari pajak, tapi murni mau mendapat dana dari luar negeri," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Nama orang tenar

Untuk diketahui, sebuah penyelidikan investigatif terbaru diungkap ke publik minggu ini. Diberi nama Paradise Papers, penyelidikan tersebut menelisik keterlibatan pebisnis papan atas, pimpinan pemerintahan, tokoh dalam bidang politik, global dan hiburan dalam hal menyembunyikan kekayaan mereka demi menghindari pajak.

Sama halnya dengan Skandal Panama Papers yang diungkap tahun lalu, dokumen itu diperoleh oleh surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) atau Konsorsium Jurnalis Investigatif untuk melakukan penyelidikan.

Pengungkapan ini juga menyeret beberapa nama orang Indonesia. Dilansir dari laporan bocoran ICIJ, Senin (6/11/2017) setidaknya ada tiga nama yang turut masuk yakni politikus Prabowo Subianto, dan anak mantan Presiden Soeharto, Tommy dan Mamiek Soeharto.

Dalam laporan Paradise Papers tersebut disebutkan Tommy dan Mimiek Soeharto sudah membentuk perusahaan cangkang di zona bebas pajak lewat bendera Humpuss Group. Tommy, yang kini menahkodai Humpuss Group, pernah menjabat sebagai direktur dan bos dari Asia Market Investments.

Perusahaan tersebut ternyata memiliki alamat yang sama dengan perusahaan lain yakni V Power Corp. Menurut catatan Securities and Exchange Commision, Tommy memiliki saham di perusahaan mobil mewah Italia Lamborghini di bawah V Power Corp.

Lebih lanjut data dari Appleyby, firma hukum di Bermuda, mengungkap adanya kerja sama dari anak perusahaan Humpuss dengan NLD, sebuah perusahaan periklanan billboard Australia.

Menurut laporan setempat pada 1997, perusahaan patungan itu membuat Tommy Suharto dan mitranya dari Australia mendirikan bisnis papan reklame pinggir jalan di Negara Bagian Victoria, Australia, Filipina, Malaysia, Myanmar dan Cina. Perusahaan itu ditutup di Bermuda pada 2003 dan dicatat di Appleby sebagai "pengemplang pajak."

Sementara Mamiek disebutkan adalah wakil presiden Golden Spike Pasiriaman Ltd dan pemilik dan pimpinan Golden Spike South Sumatra Ltd. Ia menjalankan perusahaan bersama Maher Algadri, eksekutif Kodel Group, salah satu konglomerat terbesar Indonesia zaman Soeharto.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya