Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan penjualan makanan dan minuman atau mamin akan turun menjadi 5 persen pada Natal dan tahun baru di 2018.
Hal ini seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dan karakteristik generasi milenial yang cepat bosan. Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman mengungkapkan, potret penjualan makanan dan minuman di Desember ini yang tidak menunjukkan kenaikan luar biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski ada momen Natal dan Tahun Baru, penjualan malah semakin mengecil.
"November sih mulai membaik dibanding tiga bulan sebelumnya, tapi Desember ini masih stabil, tidak ada gejolak kenaikan luar biasa. Di tahun-tahun belakangan ini, Lebaran, Natal, dan tahun baru tidak terlalu signifikan gejolaknya," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (25/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Adhi, permintaan produk makanan dan minuman di Natal dan tahun baru ini tetap tumbuh, tetapi tidak setinggi tahun lalu. Berdasarkan data, dia menyebut, penjualan makanan dan minuman di periode Lebaran 2016 mencapai lebih dari 30 persen, sedangkan Natal dan Tahun Baru sekitar 15-20 persen dibanding hari-hari biasanya.
"Tapi Lebaran 2017, penjualan hanya 5 persen di atas rata-rata. Data Nielsen pun sama penjualan di ritel dari 38 persen, turun jadi 28 persen, sekarang tinggal 5 persen. Sedangkan Natal dan tahun baru ini pergerakannya akan mirip, sekitar 5 persen di atas rata-rata," keluhnya.
Lebih jauh dia menerangkan, penyebab merosotnya penjualan produk makanan dan minuman meski ada momen spesial karena perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia. Dulu, sambung Adhi, membawa makanan dan minuman, yaitu biskuit, camilan, sirup saat mudik merupakan suatu kemewahan. Termasuk memberi parsel untuk handai taulan. Akan tetapi, kini semua berubah.
"Sekarang tidak, orang lebih milih memberikan hadiah ponsel ke orangtua atau anaknya. Kalau makanan minuman, bisa beli di minimarket karena distribusi sekarang makin merata ke desa," tutur Adhi.
Di samping itu, lanjutnya, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah agak menurun. Mereka hanya melakukan pembelian pada saat memperoleh gaji. Sementara kelas menengah ke atas lebih senang menyimpan uangnya, sehingga tabungan di bank di atas Rp 2 miliar meningkat.
"Pada saat gajian di tanggal 25-5, penjualan ritel meningkat, lalu turun lagi. Tapi untuk yang menengah ke atas, makin selektif belanja. Ini menunjukkan ada kaitan dengan pola gaya hidup yang berubah," paparnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya: Antisipasi Pengusaha
Perubahan tersebut, Adhi mengakui, harus diantisipasi para pengusaha. Salah satunya membuat terobosan inovasi produk baru yang sesuai dengan musim di Indonesia. Strategi tersebut dilakukan perusahaan makanan minuman di Jepang yang menyesuaikan dengan empat musim.
"Di Jepang, setiap musim ada produk yang berbeda sehingga penjualan mereka lebih stabil sepanjang tahun. Ide ini harus dibawa ke Indonesia, kita harus cari inovasi produk yang cocok di musim kemarau dan hujan, jadi tidak lagi mengharapkan seasonality, karena generasi milenial sekarang cepat bosan dan loyalitasnya rendah," tutur dia.
Adhi berharap, penjualan makanan dan minuman terdorong naik pada tahun depan. Penyelenggaraan Pilkada diharapkan memberi angin segar bagi pengusaha.
"Pilkada bagus, dan saya optimistis bisa menjadi tambahan untuk penjualan kita. Kalau tahun-tahun lalu, Pilkada bisa mendongrak penjualan 10-15 persen," tutup Adhi.
Advertisement