Liputan6.com, Jakarta - Pergi ke Tanah Suci dan menunaikan ibadah haji adalah mimpi besar yang ingin diwujudkan semua umat muslim di dunia. Beragam daya dan upaya pun dikerahkan agar biaya yang diperlukan bisa terkumpul. Banyak dari calon jemaah bahkan rela menunggu lama demi bisa menuntaskan rukun islam kelima ini.
Meski begitu, kesiapan diri tak lantas membuat seseorang langsung bisa berhaji sesuai waktu yang diinginkan. Di beberapa negara, ada penduduk yang harus menabung dalam waktu lama demi mewujudkan mimpi naik haji.
Advertisement
Baca Juga
Ternyata, Indonesia masuk sebagai negara yang warganya harus menabung cukup lama untuk bisa naik haji. Dilansir dari Aljazeera, Kamis (4/1/2018), calon jemaah asal Indonesia disebutkan membutuhkan menabung hampir 10 bulan gajinya agar bisa berangkat ke Tanah Suci dengan perkiraan gaji setahun warga Indonesia adalah US$ 3.600 atau setara dengan sekitar Rp 47 juta.
Waktu yang dibutuhkan oleh warga Indonesia ini cenderung lebih cepat dibanding negara-negara lain. Di Mesir, warganya harus menabung sebesar satu setengah tahun gaji mereka untuk pergi haji. Penghasilan warga mesir per tahunnya dilaporkan mencapai US$ 3.600 atau Rp 47 juta.
Sama halnya dengan Nigeria. Warga Nigeria yang menjadi calon jemaah haji rata-rata harus menabung hingga lebih dari dua tahun gaji mereka. Rata-rata gaji per tahun warga Nigeria adalah US$ 2.200 atau setara dengan hampir Rp 29 juta.
Menurut survei Aljazeera, negara yang warganya harus menunggu paling lama untuk bisa berangkat haji adalah Bangladesh. Di sana, penduduknya harus memiliki tabungan senilai tiga tahun dua bulan jumlah gajinya.
Laporan Bank Dunia menyebut, gaji rata-rata orang Bangladesh selama setahun yaitu sekitar US$ 1.500 atau setara dengan Rp 19,7 juta.
Akan tetapi, ada juga negara yang warganya bisa menabung lebih cepat dari Indonesia untuk bisa pergi haji. Di Malaysia, warganya hanya harus menabung selama enam bulan atau setengah tahun gaji untuk mencukupi biaya haji.
Arab Saudi Tarik Pajak, Pemerintah Naikkan Biaya Haji dan Umrah
Pemerintah Arab Saudi menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai awal 2018. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, PPN tersebut akan berdampak pada biaya haji dan umrah.
“Tentu konsekuensinya apa boleh buat ya, tentu akan ada penyesuaian harga, akan ada kenaikan-kenaikan harga,” ujar Lukman di Kantor Kemenag Jakarta.
Menurut Lukman, saat ini pihaknya sedang menghitung biaya haji. Tujuannya, kata dia, agar kenaikannya tetap pada ambang batas kewajaran.
“Agar kenaikannya itu betul-betul pada ambang batas yang masih bisa ditolerir, yang rasional. Jangan sampai kenaikannya itu pada akhirnya memberatkan para calon jemaah haji,” ucap dia.
Lukman menegaskan, pemerintah Indonesia tidak akan menanggung PPN tersebut karena ini dibebankan kepada semua orang, tanpa terkecuali.
“Tidak (ditanggung pemerintah), karena itu kan berlaku semua setiap orang,” ucapnya.
Lukman menjelaskan, PPN ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2018. Menurut dia, PPN ini merupakan kebijakan dari pemerintah Arab Saudi.
“Jadi, ini adalah kebijakan pemerintah Saudi Arabia terhitung sejak 1 Januari 2018. Jadi seluruh pengeluaran, seluruh bentuk pelayanan itu dikenai pajak 5 persen dan tidak terkecuali pelayanan umrah dan haji,” ucapnya.
Sehingga, kata Lukman, mau tidak mau, pembayaran PPN ini akan dibebankan kepada para calon jemaah haji dan umrah.
“Karena semuanya terkena, jadi kita mau beli makanan, minuman, kita mau melakukan apa saja yang terkena pajak itu. Selama ini pemerintah Saudi Arabia tidak mengenakan pajak, kalau kita kan sudah 10 persen. Nah, baru tahun ini maksud saya (Arab Saudi) mengenakan pajak 5 persen,” tandas Lukman.
Advertisement