Tren Kenaikan Ekspor Sawit Diprediksi Berlanjut

Pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru.

oleh Nurmayanti diperbarui 05 Feb 2018, 19:00 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2018, 19:00 WIB
cpo-ekspor130527c.jpg
Minyak sawit mentah.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada 2017 surplus US$ 11,84 miliar. Sama seperti 2016, penyumbang devisa terbesar masih berasal dari ekspor minyak sawit dan produk turunannya.

Jika pada 2016 nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) sebesar US$ 18,22 miliar, tahun ini meningkat sekitar 26 persen menjadi US$ 22,97 miliar.

Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin mengatakan, selama ini volume ekspor minyak sawit berbanding lurus dengan produksi. 

Harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di 2017 meningkat dibanding 2016. Diketahui, harga rata-rata CPO di 2017 tercatat US$ 714,3 per metrik ton atau meningkat 2 persen dibanding harga rata-rata 2016 di angka US$ 700,4 per metrik ton.

“Sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” kata dia.

Bahkan Bustanul memprediksi hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat. Namun demikian, dia mengingatkan kepada para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu sustainibility atau keberlangsungan masih akan terus menjadi kendala.

“Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” jelas dia.

Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru. Misalnya saja negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di timur tengah. “Itu semua prospektif,” katanya.

Namun demikian, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, China jangan ditinggalkan.

“Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang,” dia menambahkan.

Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat.

“Dalam kondisi ini, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional,” tutur Bustanul.

 

RI Harus Gencar Gelar Diplomasi Dagang

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, hingga saat ini Indonesia masih terpaku pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70 persen dari total negara tujuan ekspor.

“Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru. Pakistan, Eropa Timur, Afsel, Afrika Utara ini juga sangat potensial. Oleh karena itu, tahun 2018 harus buka pasar alternatif itu,” tutur dia.

Selain itu, kata Bhima, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor. Sebab setiap negara selalu menerapkan tarif dan non tarif. Amerika Serikat misalnya, saat ini menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih protektif.

Perlu diketahui saat ini AS telah menerapkan lebih dari 2.000 non tariff barrier, China punya 4.000 non tariff barrier, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan nontariff barrier.

“Itu yang menyebabkan kita tidak bisa masuk ke pasar mereka. Kita harus memperkuat diplomasi perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral sehingga hambatan non tarif tadi bisa berkurang,” tutur dia.

Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di forum WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia, harus bersama-sama melakukan diplomasi. Pemerintah harus lebih aktif lagi di forum WTO agar bisa menang dalam menghadapi sengketa dagang.

“Apalagi selama kita kekurangan tim banding di WTO sehingga untuk menghadapi sengketa dagang, ini harus diperkuat. Market intelegen kita juga kurang. Padahal ini sangat penting,” katanya.

Terkait sawit, isu hambatan dagang bermunculan di berbagai negara. Seperti AS yang memberlakukan antidumping untuk biodisel Indonesia. Juga adanya Resolusi Parlemen Eropa yang menyebutkan pelarangan biodisel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Tahun lalu, India juga menaikkan pajak impor minyak sawit hingga dua kali lipat dibanding 2016. Minyak sawit juga berpotensi menghadapi kendala di Australia menyusul Senat Australia kembali mengajukan RUU Competition and Consumer Amendment (Truth in Labeling – Palm Oil). 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya