Liputan6.com, Jakarta - Tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di Pelabuhan Tanjung Priok mengancam akan mogok kerja. Hal ini menyusul kerugian yang dialami oleh Koperasi Karya Sejahtera Tenaga Kerja Bongkar Muat (KSTKBM) Pelabuhan Tanjung Priok sebesar Rp 6,3 miliar sepanjang 2017.
Ketua Koperasi KSTKBM Tanjung Priok, Suparman‎ mengatakan, kerugian tersebut merupakan akibat dari rendahnya produktivitas bongkar muat di dua terminal petikemas yaitu Jakarta International Container Terminal (JICT) dan TPK Koja.
Dia menuturkan, pada 2017, produktivitas bongkar muat di kedua terminal jauh di bawah ketentuan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yaitu 27 boks kontainer per alat per jam untuk JICT dan 25 boks kontainer per alat per jam untuk TPK Koja.
Advertisement
Baca Juga
"Rendahnya pencapaian bongkar muat kontainer itu membuat Koperasi KSTKBM harus rela menerima pembayaran jasa bongkar muat yang jauh di bawah biaya upah yang harus dibayarkan kepada pekerja TKBM," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Untuk menutupi kekurangan upah, lanjut Suparman, Koperasi KSTKBM terpaksa menggunakan dana yang dipersiapkan untuk tunjangan hari raya (THR) 2.400 TKBM serta dana asuransi pekerja di 2017. Namun konsekuensinya, 2.400 TKBM Tanjung Priok terancam tidak mendapat THR pada tahun ini.
Suparman juga menyayangkan pihak otoritas pelabuhan yang tidak sigap dalam mencermati anjloknya produktivitas bongkar muat tersebut. Padahal, rendahnya produktivitas bongkar muat tersebut sangat memengaruhi pencapaian dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini bertolak belakang dengan target Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan angka dwelling time.
"Dwelling time itu ditentukan kecepatan bongkar muat. Kami punya data, ada kapal yang harusnya dilayani 2 hari tapi baru selesai 4 hingga 5 hari," kata dia.
Dia menjelaskan, sejak awal 2017, JICT dan TPK Koja memberlakukan sistem baru pembayaran jasa bongkar muat berdasarkan jumlah boks kontainer. Koperasi KSTKBM menerima sistem baru tersebut megacu pada asumsi produktivitas bongkar muat di kedua terminal sesuai dengan standar yang ditetapkan Kemenhub.
Namun kenyataannya, kata Suparman, sepanjang 2017, pencapaian produktivitas alat bongkar muat di kedua terminal jauh dari standar tersebut. Bahkan pernah terjadi produktivitas alat hanya 15 boks per jam.
"Sebagai pengelola TKBM, kami sudah mau mengubah aturan pembayaran upah dari pihak terminal menjadi sistem borong. Namun kami kecewa karena ternyata produktivitas bongkar muat jauh dari standar yang sudah ditetapkan pemerintah," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Selanjutnya
Pihak Koperasi KSTKBM juga telah menyampaikan kerugian yang diderita koperasi tersebut kepada otoritas pelabuhan maupun manajemen kedua terminal. Koperasi KSTKBM pun sudah mengajukan dana kompensasi atas kerugian tersebut kepada JICT dan TPK Koja.
"Namun hingga saat ini belum direspons dengan baik," lanjut dia.
Suparman menyatakan, jika permintaan tersebut tetap tidak direspons, dalam waktu dekat, pihaknya akan melakukan rapat akbar dengan seluruh TKBM untuk menyikapi kasus tersebut.
"Banyak TKBM yang mendesak melakukan mogok kerja. Tapi kita tahan. Jika sampai Maret tidak ada respons, apa boleh buat kita ikuti kemauan mogok kerja TKBM di seluruh kawasan Pelabuhan Tanjung Priok," ungkap dia.
Suparman berharap manajemen JICT maupun TPK Koja memahami kesulitan yang dihadapi Koperasi KSTKBM saat ini. Pasalnya, kerugian yang dialami koperasi bukan disebabkan kinerja TKBM, melainkan karena faktor produktivitas yang menurun drastis di kedua terminal.
"Intinya semua pihak di pelabuhan harus paham mengenai kondisi TKBM yang sebenarnya," tandas dia.
Advertisement