Peternak Sapi Angkat Bicara soal Pembatasan Transaksi Tunai di RI

Ini komentar asosiasi peternak sapi dan kerbau terkait rencana pembatasan transaksi tunai maksimal Rp 100 juta.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Apr 2018, 19:07 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2018, 19:07 WIB
Peternakan Sapi
Peternakan Sapi (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Peternak sapi dalam negeri meminta pemerintah untuk membangun fasilitas dan sistem pembayaran nontunai di sentra-sentra jual beli produk peternakan. Hal ini menyusul adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK) atau transaksi tunai. 

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, ketergantungan terhadap uang tunai di bisnis peternakan selama ini masih sangat tinggi. Bahkan 90 persen transaksi di bisnis ini masih menggunakan uang tunai.

"Transaksi umumnya masih menggunakan uang tunai.‎ Jadi 80-90 persen masih menggunakan tunai, kecuali perusahaan-perusahaan besar yang sudah gunakan bank. Tapi umumnya menggunakan tunai," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/4/2018).

Rochadi mengungkapkan, perputaran uang di bisnis ini juga terhitung tinggi. Per harinya, satu pengusaha ternak minimal melakukan transaksi jual beli hingga mencapai Rp 150 juta. Transaksi seperti ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

"Misalnya 1 truk itu 10 ekor-12 ekor. Kalau 1 ekor sapi harganya Rp 15 jutaan, itu sudah Rp 150 juta, itu per hari. Itu di RPH atau pasar hewan antar provinsi itu minimum 1 truk, karena tidak mungkin hanya bawa 1-2 ekor dalam pengiriman. Kemudian pemotongan per tahun sekitar 2-3 juta ekor, itu dikali Rp 15 juta. Jadi sangat besar," jelas dia.

Rochadi mengatakan, para peternak sapi mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan keamanan transaksi masyarakat dengan membatasi transaksi tunai. Namun hal tersebut harus dilakukan dengan peningkatan fasilitas pembayaran nontunai di sentra bisnis peternakan dan sosialiasi yang cukup.

"Secara prinsip kita setuju saja kalau tujuannya untuk mengamankan. Karena transaksi secara tradisional juga itu risikonya tinggi, dibawa pakai kantong kresek, dan lain-lain.‎ Tapi kalau ada fasilitas pendukung (untuk transaksi nontunai) di sentra-sentra bisnis itu dan dengan sosialisasi ya mungkin 4-5 bulan, ya bagus-bagus saja karena untuk mengamankan transaksinya. Tapi harus ada jeda waktu," tandas dia.

PPATK Akan Batasi Transaksi Tunai Maksimal Rp 100 Juta

Ketua PPATK
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pusat Pelaporan dan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) akan membuat batasan nominal transaksi tunai atau pembayaran langsung dengan uang kartal, yakni sebesar Rp 100 juta.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pembatasan angka transaksi tunai dilakukan agar mereka bisa lebih mudah dalam melacak transaksi keuangan yang mencurigakan jelang Pilkada 2018.

"Tentu dengan adanya pembatasan transaksi tunai, itu dengan sendirinya akan memudahkan aparat penegak hukum, PPATK dan lembaga pengawasan lain, untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) maupun TPPT (Tindak Pidana Pendanaan Terorisme)," tuturnya di Highland Park Resort, Bogor, pada 28 Maret 2018. 

Dengan adanya batasan jumlah transaksi Rp 100 juta, ia menyatakan, itu akan mempermudah PPATK memvonis adanya pelanggaran pidana dalam melakukan transaksi tunai.

Dari sisi regulasi, dia menyampaikan, saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) soal pembatasan transaksi tunai ini. "Sebetulnya itu masuk dalam Prolegnas (program legislasi nasional) kita. Itu sudah selesai dan akan disampaikan kepada DPR," ujar Kiagus.

Dia berharap, RUU tersebut dapat selesai secepatnya. Ditargetkan, pada akhir 2018 ini kebijakan tersebut sudah bisa keluar.

"Kita berdoa (RUU pembatasan dana transaksi tunai) tahun ini selesai. Tentu dengan dukungan untuk memberikan semangat terhadap pihak terkait agar menyelesaikan itu," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya