Harga Gas Masih Mahal, 4 Perusahaan Keramik Setop Produksi

Sebanyak empat perusahaan keramik di Indonesia setop produksi akibat harga gas yang masih mahal.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Jun 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2018, 10:00 WIB
Calon Gubernur Jawa Barat Tubagus Hasanuddin berkunjung ke tempat pengrajin keramik gerabah di Desa Anjun, Purwakarta.
Calon Gubernur Jawa Barat Tubagus Hasanuddin berkunjung ke tempat pengrajin keramik gerabah di Desa Anjun, Purwakarta. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut, ada empat perusahaan keramik nasional berhenti produksi. Kondisi ini salah satunya dipicu oleh masih tingginya harga gas industri di dalam negeri.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, industri keramik di dalam negeri memiliki total kapasitas produksi sebesar 449 juta meter persegi. Namun, dari jumah tersebut kapasitas terpasangnya (utilisasi) saat ini hanya sekitar 59 persen.

"Kalau kita lihat utilisasinya tinggal 59 persen dari 80 persen pada tiga tahun lalu," ujar dia di Jakarta, Minggu (3/6/2018).

‎Achmad menjelaskan, penurunan kapasitas terpasang ini karena ada empat perusahaan keramik yang menghentikan produksinya. Hal ini juga membuat ‎posisi Indonesia sebagai produsen keramik dunia me‎lorot ke peringkat 8.

"Iya keramik ada empat perusahaan yang menghentikan produksinya. Tiga tahun lalu, kita masih nomor empat," kata dia.

Menurut Sigit, perusahaan keramik tersebut setop produksi karena salah satunya dipicu oleh masih tingginya harga gas di dalam negeri, di mana saat ini masih berada pada kisaran USD 7-8 per MMBTU. Hal tersebut juga menyebabkan produk keramik Indonesia kalah bersaing dengan produk serupa dari negara lain, seperti China.

‎"Sebagian sudah untuk pasar ekspor. Kita kalah bersaing juga, karena harga gas kita masih USD 7-8 per MMBTU," tandas dia.

Jurus Pemerintah Lindungi Produk Keramik Lokal dari Serbuan Impor

Keramik
Cara Cerdas Memperbaiki Keramik yang Pecah. Sumber foto: purewow.com.

Pemerintah berupaya melindungi industri bahan galian nonlogam dari serbuan produk impor. Salah satunya dengan mendorong implementasi kebijakan nontariff barriers (NTB) bagi industri keramik dan kaca.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, kedua produk tersebut memiliki potensi besar untuk unggul di pasar global. Saat ini, daya saing industri kaca Indonesia menempati urutan pertama di ASEAN. Sementara industri keramik menempati peringkat ke-8.

"Jadi, lewat NTB diharapkan impor tidak lagi mudah masuk tanpa lewat pengecekan atau verifikasi kualitas produk,” ujar dia di Kantor Kemenperin, Jakarta, pada 30 Mei 2018. 

Sigit mengungkapkan, saat ini Kemenperin juga memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk keramik dan kaca. Hal tersebut diharapkan menjadi cara untuk melindungi produk dan konsumen dalam negeri.

“Bersama asosiasi, SNI disusun dengan merujuk kepada standar internasional yang paling baik sehingga pasar dalam negeri terjaga dan supaya produk domestik bisa mudah diekspor,” kata dia.

Lebih jauh katanya, potensi pengembangan industri keramik di Indonesia masih sangat besar. Salah satunya karena didukung oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah dan tersebar di wilayah Indonesia.

Sektor ini juga cukup signifikan berkontribusi terhadap perekonomian nasional, misalnya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 150 ribu orang dan kapasitas produksi terpasang mencapai 490 juta meter persegi.

“Apalagi dengan pertumbuhan pasar dalam negeri yang terus meningkat dan dengan adanya program pemerintah dalam peningkatan infrastruktur, pembangunan properti dan perumahan, diharapkan akan meningkatkan konsumsi keramik nasional,” ungkap dia.

Sementara itu, industri kaca merupakan salah satu sektor yang diprioritaskan dalam pengembangannya. Industri kaca nasional menempati posisi pertama di ASEAN sebagai produsen kaca lembaran terbesar dengan kapasitas produksi terpasang mencapai 1,225 juta ton per tahun dan berkontribusi sebesar 47,5 persen terhadap produksi kaca lembaran di kawasan Asia Tenggara.

“Industri kaca mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 10 ribu orang. Sektor ini juga memiliki nilai tambah yang tinggi karena menghasilkan produk turunan yang bervariasi seperti kaca pengaman, kaca patri, glass block, kaca isolasi, dan glassware, serta digunakan untuk berbagai sektor lain seperti industri otomotif maupun bidang sektor lain seperti bangunan, properti dan konstruksi,” tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya