Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 0,5 persen atas omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP)Â Nomor 23 Tahun 2018 dan berlaku efektif per 1 Juli 2018.
Kebijakan ini langsung disambut baik oleh para pelaku UMKM. Namun, apa yang ada di aturan baru tersebut dinilai belum cukup ampuh untuk mendorong UMKM naik kelas seperti yang menjadi tujuan adanya aturan baru tersebut.
Baca Juga
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Muhammad Ikhsan Ingratubun mengatakan, perlu ada stimulus lanjutan agar UMKM lebih cepat naik kelas.
Advertisement
"Kita sambut baik pajak UMKM itu turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen, tapi itu tidak cukup untuk meningkatkan kelas UMKM. Terlebih di aturan itu, masih ada embel-embel kita harus buat pembukuan, ini yang banyak UMKM belum mampu," terangnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Menurut Ikhsan, UMKM selama ini hanya memiliki catatan keuangan sederhana. Karena jika harus membuat pembukuan, selain kurang paham juga membutuhkan biaya minimal Rp 5 juta untuk menyewa akuntan. Padahal nominal itu bisa digunakan untuk tambahan modal.
Untuk itu, stimulus lanjutan yang harus dilahirkan pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak adalah membuat form aplikasi sederhana yang bisa diisi para pelaku UMKM dan mewakili persyaratan pembukuan, seperti yang tertuang dalam PPh final yang baru.
Â
Selanjutnya
Selain itu, Ikhsan juga mengusulkan untuk memberikan insentif kepada UMKM supaya mudah mendapatkan akses permodalan.
"Selama ini kalau kita minta modal ke perbankan yang utama bukan adanya pembukuan atau tidak, tapi persoalan jaminan. Jadi mungkin bisa saja usaha mikro itu enggak usah ada jaminan saja,"Â dia menambahkan.
Ikhsan mengaku, sistem tanpa jaminan tersebut memang sulit diterapkan oleh perbankan. Untuk itu dirinya meminta kepada pemerintah memaksimalkan peran koperasi.
"Makanya Menteri Koperasi dan UKM itu harus diberi peran yang lebih, dia tidak bisa buat kebijakan karena terbentur kebijakan di daerah. Jadi modal tanpa jaminan itu lewat koperasi-koperasi saja. Itu lebih masuk akal," terang dia.
Advertisement