Ini Empat Penyebab Harga Ayam dan Telur Bergejolak

Kementerian Perdagangan bantah jika gejolak harga daging ayam dan telur disebabkan oleh aksi penimbunan.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Jul 2018, 19:40 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2018, 19:40 WIB
20151228- Jelang Akhir Tahun Harga Sembako naik-Jakarta-Angga Yuniar
Telur ayam mengalami kenaikan yang sangat tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya, Pasar Senen, Jakarta, Senin (28/12/2015) Jelang akhir tahun harga Sembako di pasar tradisional rata-rata mengalami kenaikan hingga 20%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) membantah jika gejolak harga daging ayam dan telur disebabkan oleh aksi penimbunan.

Saat ini harga daging ayam di Jakarta berada di kisaran Rp 37 ribu per kg, sementara harga telur ayam mencapai Rp 29 ribu per kg.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita menyatakan, secara logika, komoditas lantaran ayam dan telur tidak bisa ditimbun. Hal ini lantaran kedua komoditas tersebut bukan barang yang tahan lama dan membutuhkan biaya untuk menahannya di dalam peternakan atau gudang.

"Sekarang kalau mau menimbun ayam harus dikasih makan, jadi tidak bisa. Secara relatif tidak bisa dilakukan penimbunan, tapi kita lihat secara keseluruhan, kita update posisi itu semua. Kementan akan menyiapkan update kembali evaluasi," ujar dia di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Dia mengungkapkan, banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan harga daging ayam dan telur ini. Pertama, soal penurunan produktivitas dari ayam akibat penggunaan obat-obatan yang dikurangi.

"Banyak faktor yang bisa mempengaruhi. Bicara mengenai tingkat produktivitas dari ayam itu sendiri, ini juga dilakukan penelitian mulai dinas sampai kementerian, kita sepakat kurangi kadar obat-obatan supaya lebih sehat terutama antibiotik, tapi berisiko pada tingkat kematian dan lain-lain," kata dia.

Kedua, faktor cuaca ekstrem di sejumlah wilayah yang menjadi sentra peternakan ayam. Hal ini juga mempengaruhi produktivitas dari ayam. "Ada cuaca yang ekstrem. Kita tidak mencari ayam (kambing) hitam. Seperti di Dieng sampai ber-es," lanjut dia.

Faktor ketiga, yaitu penurunan suplai ke pasaran lantaran ada masa libur Lebaran. Hal ini membuat pasokan ke pasar berkurang sementara permintaan meningkat.

"Kemudian, dari sisi suplai ke pasar terjadi pengurangan yang disebabkan masa libur yang panjang. Ternyata mereka yang bekerja di peternakan ini mau cuti," ungkap dia.

Keempat, ada dugaan pihak-pihak tertentu menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Terlebih saat Lebaran lalu.

"Ada potensi menikmati margin keuntungan dari pedagang. Ada dugaan seperti itu. Faktor ini yang terakumulasi sehingga pasokan dan pendistribusian ini relatif terganggu," ujar dia.

 

Kementan Sebut Program Pemda DKI dan Kemensos Picu Harga Telur Naik

Harga-Telur-Ayam
Pekerja memilih telur ayam diagen, Jakarta, Senin (27/3). Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat menilai pemerintah lamban mengatasi kondisi kelebihan pasokan ayam hidup dan telur, menyebabkan harga jatuh di tingkat peternak. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menggelar diskusi bersama dengan para asosiasi peternak dan juga stakeholder terkait untuk membahas kenaikan harga telur. harga telur terus melambung dalam beberapa pekan terakhir.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita menjelaskan, kenaikan harga komoditas telur bukan disebabkan produktifitas unggas yang turun. Ketut menekankan, produksi telur justru surplus untuk periode bulan Mei dan juga Juni 2018 ini.

"Produksi telur bulan Januari-Mei 2018 sebanyak 733.421 ton, sedangkan kebutuhan pada periode tersebut hanya 733.421 ton. Ini artinya ada surplus sebanyak 10.913 ton," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin (16/7/2018).

Ketut juga menambahkan produksi telur pada bulan Juni 2018 sebesar 153.450 ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 151.166 ton. Oleh karena itu, lanjut dia, produksi telur pada bulan Juni juga surplus sebesar 2.284 ton.

"Kesimpulannya, tidak ada kekurangan produksi telur hingga Juni 2018," kata dia.

Ketut mengatakan, kenaikan harga komoditas telur disebabkan oleh lonjakan kebutuhan telur nasional dan meningkatnya permintaan telur pasca libur panjang.

"Terjadi lonjakan kebutuhan telur nasional ini karena Program Kementerian Sosial tentang Bantuan Pemerintah Non Tunai (BPNT) dalam bentuk 1 kg telur per keluarga miskin serta bersamaan Pemerintah DKI Jakarta juga memberikan bantuan berupa telur bagi warga DKI dengan menggunakan KJP," ujarnya.

Untuk bantuan tersebut, kata Ketut, Pemda DKI menandatangani kerjasama dengan Pemda Blitar untuk memasok telur ke DKI Jakarta.

"Akibat kedua Program tersebut pasokan telur dari sentra produksi telur seperti dari peternak Blitar ke Jabodetabek yang semula 1 rit, saat ini bisa 3-4 rit, ini baru dari 1 peternak," tutur dia.

Ketut juga menambahkan bagusnya harga daging pada saat lebaran membuat banyak peternak melakukan afkir dini ayam petelur atau layer untuk kemudian hanya dijual dagingnya.

"Kenaikan demand usai libur panjang dan pelarangan antibiotik growth promoter (AGP) juga membuat telur kita zero dari residu antibiotik sehingga harganya jadi mahal. Ini sebab lainnya," ungkapnya.

Sebagai solusi, Ketut berujar bahwa pemerintah akan segera melakukan penghitungan ulang Prognosa Kebutuhan telur dan ayam ras. Ia juga mengatakan pemerintah akan mengkaji kembali harga acuan telur dan ayam ras tingkat produsen dan konsumen, berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan.

"Sesuai hasil rapat dengan Integrator hari ini, Ketua Pinsar Singgih Janu Ratmoko mengupayakan harga segera stabil dalam minggu ini," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya