Produktivitas Pekerja RI Ditargetkan Kalahkan Malaysia

Di level ASEAN, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di posisi keempat.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Jul 2018, 12:18 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2018, 12:18 WIB
Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat di Indonesia Masih Minim
Pekerja menyelesaikan pembangunan proyek gedung di Jakarta, Jumat (20/7). Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan, Indonesia kekurangan tenaga kerja konstruksi bersertifikat dan berijazah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta ‎Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menargetkan‎ produktivitas tenaga kerja Indonesia mampu mengalahkan Malaysia. Di level ASEAN, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di posisi ke-4.

Direktur Bina Produktivitas Kemnaker Muhammad Zuhri mengatakan, Singapura masih menempati posisi pertama dalam hal produktivitas, disusul Malaysia di posisi 2.

"Kita ini di ASEAN ada di posisi ke-4 setelah Thailand. Pertama itu Singapura, Malaysia, Thailand, baru Indonesia," ujar dia dalam acara Multi-Country Observational Study Mission on Labour Management Relation di Jakarta, Senin (23/7/2018).

Namun demikian, kata dia, pemerintah tidak puas hanya berada di posisi ke-4. Meski mengaku sulit untuk menyusul Singapura, setidaknya produktivitas tenaga kerja Indonesia bisa menyusul Malaysia di posisi ke-2.

‎"Yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kita bagaimana kita tidak hanya puas di posisi ke-4. Kalau semua instrumen bekerja dengan baik, posisi tingkat produktivitas kita di ASEAN paling tidak menggeser Malaysia. Target kita, kita geser posisi Malaysia di peringkat ke-2. Kalau Singapura, perlu kerja keras untuk menggeser Singapura," kata dia.

Sementara dalam hal daya saing, di antara negara-negara World Economic Forum, daya saing tenaga kerja Indonesia berada di posisi 36.

Upaya peningkatan produktivitas diharapkan berdampak pula pada perbaikan daya saing tenaga kerja Indonesia di dunia.

"Adapun dalam WEF, dari 137 negara, posisi kita di 36, daya saing kita. Jadi antara produktivitas dan daya saing ini saling berpengaruh. Jadi signifikansinya itu sangat erat antara kedua itu," tandas dia.

Indonesia Butuh 57 Juta Tenaga Kerja Terampil

Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat di Indonesia Masih Minim
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek gedung di Jakarta, Jumat (20/7). Dari 8,1 juta orang tenaga kerja konstruksi hanya tujuh persen yang memiliki sertifikat dan ijazah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintah Indonesia dinilai harus bergerak cepat dalam mengimbangi perubahan teknologi terutama di dunia industri. Saat ini industri tengah bergerak ke revolusi 4.0, di mana kualitas tenaga kerja benar-benar menentukan.

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com mengungkapkan, pemerintah harus meningkatkan keterampilan para lulusan siap kerja dan menyelaraskan dengan kebutuhan dunia industri.

Ronny mengaku dengan cita-cita Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia pada 2030, kita juga membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil.

"Menurut data Kemnaker, Indonesia saat ini memiliki 56 juta tenaga terampil. Jadi, masih kurang 57 juta lagi. Jika sekadar jumlah, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia memiliki 131 juta angkatan kerja. Setiap tahun angkatan kerja juga bertambah 2 juta orang. Artinya, melebihi kapasitas," ujar dia, Rabu (11/7/2018).

Masalahnya, menurut Ronny, sebanyak 60,25 persen angkatan kerja baru itu di antaranya adalah tenaga kerja berpendidikan rendah, setingkat SD dan SMP.

Lalu, bagaimana dengan lulusan perguruan tinggi?

Bagi Ronny, di tingkat ini juga terjadi mismatch dan pekerja yang berada di bawah kualifikasi (underqualified) sehingga kualitas kompetensi menjadi di bawah standar.

"Inilah yang digadang-gadang sebagai sebab mengapa lulusan perguruan tinggi pun banyak jadi pengangguran," tambah dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya