Ketersediaan Pakan Penting Buat Stabilkan Harga Telur

Apabila jagung tetap menjadi bahan pokok pakan, perlu adanya peningkatan pasokan atau persediaan jagung.

oleh Arthur Gideon diperbarui 24 Jul 2018, 07:20 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2018, 07:20 WIB
Peternak di Depok Ungkap Penyebab Tingginya Harga Telur Ayam
Pekerja mengumpulkan telur dari peternakan ayam di kawasan Depok, Jawa Barat, Senin (23/7). Tingginya harga telur ayam di pasaran karena tingginya permintaan saat lebaran lalu yang berimbas belum stabilnya produksi telur. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Ketersediaan jagung untuk pakan ayam sangat penting untuk menjaga kestabilan harganya. Pakan ayam berperan penting untuk menunjang pertumbuhan ayam. Sekarang harga pakan ayam mengalami peningkatan secara rata–rata Rp 250 per kilogram (kg). Hal ini disebabkan karena pasokan jagung yang menipis sehingga mau tidak mau akan meningkatkan biaya produksi.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengatakan, lebih dari 45 persen pakan ayam berasal dari jagung sehingga kelangkaan jagung pasti akan memengaruhi produksi pakan nasional. Belum lagi jumlah produksi jagung harus berebut dengan permintaan konsumen yang ditujukan untuk non pakan ternak.

Apabila jagung tetap menjadi bahan pokok pakan, perlu adanya peningkatan pasokan atau persediaan jagung. Selama ini petani menanam jagung bergantian dengan jenis komoditas pertanian lain setiap musim sehingga produksi jagung tidak stabil di sepanjang tahun.

“Semakin mahal harga telur di tingkat petani maka semakin sulit pedagang eceran untuk memasok persediaan dengan modal jualan yang tetap. Di samping itu, pemerintah juga perlu mewaspadai rantai distribusi perdagangan telur. Karena tidak menutup kemungkinan terdapat oknum disepanjang rantai distribusi yang sengaja membuat harga telur menjadi tinggi,” jelas Novani dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (24/7/2018).

Jumlah produksi jagung nasional tidak bisa memenuhi jumlah konsumsi jagung nasional. Di saat yang bersamaan, pemerintah justru membatasi impor jagung tanpa memperhatikan pasokan memadai.

Jumlah produksi jagung nasional tidak bisa memenuhi jumlah konsumsi jagung nasional. Di saat yang bersamaan, pemerintah justru membatasi impor jagung tanpa memperhatikan pasokan memadai.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah produksi jagung nasional mengalami peningkatan pada periode 2013 sampai 2017. Pada 2013 jumlah produksi jagung nasional adalah 18,5 juta ton dan meningkat menjadi 19 juta ton dan 19,6 juta ton pada 2014 dan 2015. Pada 2016 dan 2017 jumlahnya menjadi 19,7 juta ton dan 20 juta ton.

Di saat yang bersamaan, jumlah konsumsi jagung nasional juga terus naik. Pada periode 2013-2015, jumlah konsumsi jagung nasional berjumlah 21,6 juta ton, 22,5 juta ton dan 23,3 juta ton. Ada sedikit penurunan pada 2016 yaitu menjadi 22,1 juta ton. Jumlah ini kembali naik menjadi 23,3 juta ton pada 2017.

Jumlah jagung yang diimpor Indonesia terus mengalami penurunan. Indonesia mengimpor 3,19 juta ton jagung pada 2013 dan 3,18 juta ton pada 2014. Sementara itu pada 2015, 2016 dan 2017 jumlahnya impornya adalah3,5 juta ton, 1,3 juta ton dan 500.000 ton. Penurunan jumlah impor yang dimaksudkan untuk melindungi petani jagung nasional justru tidak efektif untuk menjaga kestabilan harga.

Tingginya harga telur ini tidak hanya berdampak pada konsumen akhir, tetapi juga produsen yang berbahan baku telur seperti produsen roti dan produsen makanan olahan lainnya. Ditambah lagi telur ayam ditengarai sebagai salah komoditas yang menyumbangkan nilai tinggi terhadap inflasi di bulan Juni.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penurunan Produksi?

Peternak di Depok Ungkap Penyebab Tingginya Harga Telur Ayam
Telur ayam terlihat di sebuah peternakan di kawasan Depok, Jawa Barat, Senin (23/7). Tingginya harga telur ayam di pasaran karena tingginya permintaan saat lebaran lalu yang berimbas belum stabilnya produksi telur. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Anomali ini terjadi ditengarai oleh beberapa kemungkinan. Apabila kita asumsikan tidak ada permasalahan di rantai distribusi, maka terjadi penurunan produktivitas di sisi supply yaitu produktivitas ayam. Produktivitas ayam pun dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pakan ternaknya, cuaca dan suhu ruangan dan tingginya permintaan pasca lebaran yang berpotensi melonjak.

“Ketiga faktor itu perlu dipantau lebil lanjut. Harga pangan ayam juga relatif mengalami peningkatan, hal ini pun juga mendapat tekanan dari beberapa hal seperti ketersediaan komponen utama pakan ternak seperti jagung,” jelasnya.

Novani menambahkan, pemerintah juga perlu mengantisipasi cuaca yang tidak menentu karena kualitas suhu juga sangat mempengaruhi kemampuan ayam untuk bertelur. Lalu yang terakhir adalah tingginya permintaan. Faktor lainnya yang perlu dilihat adalah di sisi demand, yaitu tingginya permintaan. Pasca lebaran, umumnya harga komoditas bergerak kembali ke normal. Namun sayangnya terjadi anomali untuk telur.

Di samping itu, pemerintah juga perlu mewaspadai rantai distribusi perdagangan telur. Hal ini penting karena tidak menutup kemungkinan terdapat oknum di sepanjang rantai distribusi yang sengaja membuat harga telur menjadi tinggi.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya