Faisal Basri Paparkan Bank Asing Dominan Salurkan Kredit bagi Warga Miskin di RI

Ekonom Faisal Basri mengungkapkan saat ini bank asing di Indonesia lebih banyak memberi fasilitas kredit bagi masyarakat miskin.

oleh Merdeka.com diperbarui 02 Okt 2018, 19:37 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2018, 19:37 WIB
Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Faisal Basri mengungkapkan saat ini bank asing di Indonesia lebih banyak memberi fasilitas kredit bagi masyarakat miskin atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

"Bank mana yang paling banyak menyalurkan kredit untuk orang miskin? Salah total kalau jawabannya BRI, BRI tidak menyapa orang miskin, yang menyapa orang miskin bank BTPN," kata Faisal dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2018).

Faisal Basri mengungkapkan, BTPN masuk menyasar segmen yang jauh lebih rendah dari BRI. "BTPN itu masuk di segmen di bawahnya BRI," ujar Faisal.

"Gara-gara ada BTPN, BRI mengurangi suku bunga kredit. Kalau dulu BRI bunganya tinggi bener kayak lintah darat, karena ada pesaing diturunkan. Dulu 20 an 30 an persen (bunganya)," ujar Faisal.

Selain itu, dia mengatakan, bank yang paling getol memberi fasilitas kredit modal untuk UKM di Jawa Barat juga bank asing.

"Di Jawa Barat bank apa yang paling banyak menyalurkan untuk UKM? Bank Nusantara Parahyangan punya Jepang, kalau Bank BTPN sebagian punya Amerika sebagian punya Jepang," ungkap dia.

Sementara itu, bank yang paling banyak memberi fasilitas kredit untuk sektor manufakturing juga bank asing asal Jepang yaitu Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG).

"Bank mana yang paling banyak menyalurkan buat industri manufaktur ?  Bukan buat kredit motor kredit mobil gitu tapi buat industri manufaktur, namanya bank Mitsuhishi MUFG. Jadi asing yang melihat potensi, justru kita sendiri tidak lihat. Oleh karena itu ayo kita buka ke mereka (bank lokal) sampai titik tertentu sehingga persaingannya lebih hebat," ujar dia.

Faisal Basri menyebutkan, karena persaingan tersebut akhirnya BRI menurunkan suku bunga kreditnya. Faisal menegaskan, keberadaan asing di perbankan Indonesia memang tidak boleh terlalu besar. Namun keberadaannya juga tidak mengganggu melainkan memberi manfaat lain bagi masyarakat.

"Ini jantung ya, industri industri keuangan jadi jantung jangan diserahkan sepenuhnya kepada asing. Jadi kita lihat ke fungsinya, bukan siapa yang menyalurkan," ujar dia.

 

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 

 

 

Pertumbuhan Dana Simpanan Masyarakat di Bank Melambat, Ini Penyebabnya

Persiapan Uang Tunai Bi
Petugas melakukan pengepakan lembaran uang rupiah di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (21/12). Bank Indonesia (BI) mempersiapkan Rp 193,9 triliun untuk memenuhi permintaan uang masyarakat jelang periode Natal dan Tahun Baru. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat ada penurunan pertumbuhan simpanan masyarakat di industri perbankan atau juga disebut dengan Dana Pihak Ketiga (DPK). Dalam catatan BI, pertumbuhan DPK pada Juli 2018 tercatat 6,9 persen, turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang ada di angka 7 persen.

Sementara itu untuk pertumbuhan kredit perbankan nasional mengalami pertumbuhan menjadi 11,3 persen pada Juli 2018 lebih tinggi dibandingkan periode bulan sebelumnya yang hanya 10,8 persen.

Deputi Gubernur BI, Erwin Rijanto mengungkapkan penurunan DPK terjadi pada mata uang rupiah dan juga Valuta Asing (valas).

"Kami memang sudah melihat hal tersebut. Kenapa ini bisa terjadi salah satunya adalah memang di tengah pertumbuhan DPK rupiah yang juga melambat itu yang lebih lambat lagi adalah dari sisi DPK valas," kata Erwin di kantornya, Kamis 27 September 2018.

Turunnya pertumbuhan DPK valas disebabkan tingginya pembiayaan impor dan juga untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur. "Juga karena memang pemerintah juga menerbitkan surat-surat berharga SBN," ujar Erwin.

Oleh sebab itu, Erwin mengungkapkan penurunan DPK tersebut banyak yang ditimbulkan dari sisi korporasi.

"Karena sebagaimana laporan yang sudah kita umumkan yang sudah kita jelaskan di bulan - bulan yang lalu memang korporasi juga mengurangi pinjaman luar negerinya, kemudian lebih banyak melakukan pembiayaan dari capex yaitu dari kemampuan sendiri sehingga (DPK) mengalami penurunan," ungkapnya.

Penurunan DPK juga terjadi karena indusrti keuangan non bank (IKNB) yang mulai menjalankan kebijakan OJK dimana mereka harus mengubah dananya ke dalam bentuk surat berharga.

"Ini salah satu diantaranya karena memang sesuai dengan ketentuan yang ada dari OJK mereka itu diminta untuk lebih banyak membuat buffer atau dananya itu disimpan di dalam bentuk SBN. Sehingga sampai dengan Desember sendiri itu diperkirakan dari IKNB akan merubah itu sekitar Rp 29 triliun untuk diberikan kepada SBN untuk memenuhi ketentuan dari OJK," kata dia.

Kendati demikian, Erwin menegaskan, kondisi tersebut tidak mengkhawatirkan. Meski nantinya akan ada gap atau celah yang cukup besar diantara DPK dan kredit sebab masih bisa ditambal dari pendanaan yang sebelumnya sudah ada di bank.

"Kalau kita melihat sampai dengan akhir tahun itu kita memperkirakan memang akan terjadi gap di antara kredit dengan DPK yang besarnya kurang lebih Rp 99 triliun dan ini semuanya memang kalau dari sisi Bank Indonesia kita melihat kita ini bukan sesuatu hal yang mengkhawatirkan karena ini masih sangat besar sekali bisa ditutup dari kelebihan pendanaan yang disimpan," ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya