Alasan Aplikasi Pinjaman Online Intip Data Daftar Kontak Ponsel Nasabah

Fintech mempunyai kemampuan untuk mengakses data kontak pengguna aplikasi. Tidak hanya daftar kontak, namun juga daftar panggilan masuk maupun panggilan keluar.

oleh Merdeka.com diperbarui 14 Des 2018, 17:00 WIB
Diterbitkan 14 Des 2018, 17:00 WIB
Ilustrasi Fintech
Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Liputan6.com, Jakarta Akhir-akhir ini marak keluhan yang menyebutkan aplikasi pinjaman online atau fintech peer to peer lending mencuri data kontak nasabah. Hal tersebut dinilai merugikan karena aplikator bahkan bisa mengakses semua nomor kontak yang ada di telepon genggam si peminjam.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko mengakui bahwa fintech mempunyai kemampuan untuk mengakses data kontak pengguna aplikasi. Tidak hanya daftar kontak, namun juga daftar panggilan masuk maupun panggilan keluar.

"Sebetulnya isi contact list itu supaya kita bisa tahu secara credit scorring model orang ini punya niat ngemplang atau tidak," kata Sunu saat dijumpai di kantor Fintech Center OJK, Wisma Mulia, Jakarta, Jumat (14/12).

Dia menjelaskan, dengan akses tersebut pihak aplikator dapat melakukan verifikasi apakah orang tersebut layak mendapat pinjaman atau tidak. Sebab kata dia, banyak juga konsumen yang memang dari awal berniat jahat dengan cara melakukan peminjaman kemudian tidak membayarnya.

"Kalau kami industri masih ingin mengakses karena itu merupakan bagian dari credit scoring untuk melakukan verifikasi apakah orang ini layak atau tidak. Karena orang ada yang dia beli handphone baru, simcard baru isinya kosong dia bisa pinjem karena dia niatnya mengemplang (enggak bayar pinjaman)," ujarnya.

Akan tetapi sekitar satu bulan yang lalu, OJK bersama Kemenkominfo mengeluarkan aturan yang menyatakan fintech dilarang untuk mengakses data tersebut sebab dinilai lebih banyak kerugian dibanding manfaatnya. Apalagi dengan maraknya fintech ilegal yang menyalahgunakan kemampuan akses data tersebut.

"OJK dan melalui kominfo sudah melarang seluruh fintech peer to peer lending untuk mengakses data contact list. Itu sudah keluar satu bulan yang lalu aturannya," ujarnya.

Dia juga menyatakan asosiasi menerima aturan tersebut dengan lapang dada meski sebetulnya hal tersebut sedikit memberatkan bagi mereka.

"Bahwa contact list dilarang kita bisa terima. Meskipun dibilang itu memberatkan. Tapi itu sesuatu yang harus kita lalui. Jadi sebetulnya regulator, pelaku industri kita berusaha memperbaiki diri untuk membentuk suatu industri yang sehat dan kuat," jelasnya.

Terkait keberadaan fintech online dikatakan jika hal tersebut merupakan bersama. "Kenapa masalah kita semua? Kita harus mengedukasi seluruh masyarakat untuk menghindari pengguna fintech ilegal. Namanya ilegal, hak-hak anda sebagai pengguna tidak didukung. Tidak dilindungi oleh undang-undang. Siapa orang ilegal? Orang dia aja dia gak terdaftar," dia menandaskan.

OJK Minta LBH Jakarta Serahkan Data 1.330 Aduan Korban Fintech

Fintech
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta data lengkap masyarakat yang mengaku menjadi korban dari aplikasi pinjam meminjam uang atau fintech peer to peer lending yang melakukan pengaduan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Disebutkan hingga kini LBH Jakarta menerima setidaknya 1.330 pengaduan. Laporan tersebut pun beragam. Setidaknya ada 14 jenis pelanggaran yang ditemukan oleh LBH mulai dari pelanggaran hukum hingga pelanggaran HAM. Misalnya adalah cara penagihan yang dinilai tidak manusiawi.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengharapkan, kerja sama dari LBH dengan cara memberikan data yang lengkap.

"Harapan kami kawan-kawan asosiasi lawyernya bisa menjalin kerjasama dan memperoleh data yang lengkap. Prinsip kami dari OJK, mohon kami dibantu dengan kelengakapan data yang terbaik agar kami dapat menyelesaikan masalah secara baik," kata dia di Kantor Fintech Center OJK, Wisma Mulia, Jakarta, Jumat (14/12/2018).

Selain itu, dia juga mengimbau agar korban bisa melapor langsung kepada OJK. Hal itu guna meminimalisir oknum yang tidak bertanggung jawab dan berpura-pura menjadi korban.

"Kami ingin kami melihat ada korban sendiri yang mengatakan saya menajdi korban . Atau ada seorang wanita mengaku korban kan harus diperiksa benar tidak korban, bahwa ini contoh kasus jadi mohon tolong lah diperiksa dengan teliti agar kita bisa tindak lanjuti. Tapi bisa saja ingin menumpang dari kisruh seperti ini," ujar dia.

Selain itu, dia juga meminta agar semua laporan tersebut dilengkapi dengan bukti yang akurat. Satu laporan dengan bukti yang kuat disebut sudah cukup untuk menindak fintech yang dilaporkan, sehingga tidak perlu menunggu laporan menumpuk hingga ribuan seperti yang sudah terjadi sekarang ini.

"Sudah ada korban yang membawa alat bukti yang sah dan meyakinkan cukup satu saja, kami cabut, gak perlu nunggu sampai 1.300 (laporan)," ujar dia.

"Tolong juga kami dibantu ketika niat kita bersama ingin melindungi konsumen katanya ingin melidungi konsumen, tolong dibuktikan dong yang nyata bawakan ke kami alat bukti yang sah jangan kemudian membentuk opini, ini masyarakat jadi tidak sehat nanti,” dia menambahkan.

Dia menjelaskan, salah satu contoh bukti yang dimaksud adalah catatan transaksi pada aplikasi. Seperti ketika laporan adanya penagihan yang tidak manusiawi yang dilakukan pihak aplikator kepada konsumen.

"Ditagih dengan tidak manusia yah datang ke kami, bawain (bukti) pak memang tempo hari saya meminjam ke fintech ini tanggal segini dan memang sejak 14 hari kemudian ini masuk penagihan yang tidak manusiawi pada kami. Bawa alat bukti kayak begitu. Tapi kalau anda tiba-tiba datang, pak saya ditagih seperti ini, mana awal kamu minjamnya bertransaksi itu?," kata dia mencontohkan.

Dengan demikian dia berharap tidak ada orang yang mengaku-ngaku menjadi korban. Padahal, dia sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas peminjaman uang di aplikasi.

"Tidak mungkin Anda ditagih kalau tidak melakukan transaksi, pinjaman awal tunjukan kepada kami bahwa Anda sudah melakukan transaksidi tahap awal dan kita bisa melihat catatan digitalnya. Saya bisa memaklumi ini adalah teknlogi modern teknologi digital, memang semua kita perlu belajar menghadapi operasi tindak kejahatan," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya