Liputan6.com, Jakarta - Miliarder Reid Hoffman, dikenal sebagai salah satu pendiri LinkedIn, ketahuan menjadi donatur dalam penyebaran berita palsu. Ini terjadi ketika pemilihan senat di negara bagian Alabama, Amerika Serikat (AS), pada akhir tahun lalu.
Dilaporkan The Washington Post, kelompok yang diberi dana oleh Hoffman menyebar kabar palsu adalah satu dari beberapa organisasi politik yang ia dukung. Hoffman yang merupakan investor telah aktif sebagai donatur Partai Demokrat dan pendukung Doug Jones yang menghadapi Roy Moore dari Partai Republik dalam perebutan kursi senat.
Advertisement
Baca Juga
Kelompok bernama American Engagement Technologies (AET) mendapat dana sejumlah USD 750 ribu atau sekitar Rp 10 miliar (USD 1 = Rp 14.562). Merekalah yang menyebar informasi palsu soal Moore lewat media sosial.
Taktik AET yang digunakan terhadap Moore dipandang mirip seperti taktik Rusia yang santer disebut menyebar informasi palsu kala pilpres AS 2016. Namun, belum jelas siapa dalang utama kasus ini.
Hoffman pun menyampaikan permintaan maaf dan berkata tidak tahu mengenai taktik AET. Miliarder Silicon Valley itu menyesal karena tidak meneliti kelakuan AET dengan lebih baik.
"Saya melihat taktik yang belakangan ini dikabarkan sangatlah mengganggu. Atas alasan itu, saya malu akan kegagalan saya dalam melacak AET - organisasi yang saya dukung - dengan lebih menyeluruh, sebat mereka membuat keputusan sendiri untuk mendanai proyek yang akan saya tolak," ujar Hoffman.
Reid Hoffman adalah miliarder yang terkenal di Silicon Valley sebagai investor internet. Ia turut berperan dalam pendirian PayPal dan LinkedIn. Kekayaan saat ini mencapai USD 1,7 miliar (Rp 24,7 triliun), turun hampir setengahnya dari awal tahun ini.
LinkedIn Pakai Email 18 Juta Non-Pengguna untuk Iklan Tertarget di Facebook
Jejaring sosial profesional LinkedIn diprotes oleh Ireland's Data Protection Commissioner (DPC). Pasalnya, LinkedIn dinilai telah menyalahi aturan perlindungan privasi data GDPR yang diimplementasikan di Eropa.
LinkedIn disebut-sebut telah menggunakan email milik 18 juta orang yang bukan merupakan pengguna, untuk keperluan iklan tertarget di Facebook.
Mengutip laman The Verge, pelanggaran ini terkait upaya LinkedIn dalam mengembangkan basis penggunanya.
"LinkedIn memproses 18 juta alamat email non-pengguna agar pemilik email tersebut menjadi pengguna LinkedIn melalui layanan iklan tertarget di Facebook," demikian bunyi laporan Tech Crunch.
Dalam laporan yang sama, disebutkan banyak perusahaan memindahkan operasi pemrosesan data mereka ke Irlandia sebelum diterapkannya peraturan privasi data Eropa yang baru.
"Keluhan ini akhirnya diselesaikan secara damai. LinkedIn pun telah menghentikan praktik-praktik tersebut," kata DPC.
Namun demikian DPC khawatir dengan isu-isu sistemik baru yang lebih luas saat diidentifikasi. Kemudian, DPC pun melakukan audit kedua untuk melihat apakah LinkedIn memiliki keamanan teknis dan tindakan organisasi yang cukup.
Advertisement