Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 9 April 2025 resmi memberlakukan tarif impor sebesar 104% terhadap barang-barang asal China. Langkah Donald Trump ini dilakukan setelah China menerapkan tarif impor sebesar 34% untuk produk-produk AS.Â
Babak terbaru dalam perang dagang AS-China yang semakin memanas ini, China kembali membalas kebijakan tarif impor yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump. China menaikkan tarif impor barang AS hingga 84%.
Baca Juga
Menurut keterangan Kantor Komisi Tarif Dewan Negara yang dikutip dari CNBC, Rabu (9/12/2025), tarif atas barang-barang AS yang masuk ke China akan naik menjadi 84% dari 34% mulai 10 April 2025.
Advertisement
Kenaikan tarif yang saling berbalas ini mengancam akan menghancurkan perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia. Menurut Kantor Perwakilan Dagang AS, AS mengekspor barang senilai USD 143,5 miliar ke China pada 2024, sementara mengimpor produk senilai USD 438,9 miliar.
Pemerintah AS bersikukuh kebijakan ini perlu dilakukan, meskipun memicu kontroversi besar. Mereka berargumen bahwa tarif ini penting untuk melindungi industri dalam negeri AS dari praktik perdagangan yang tidak adil dari China. Namun, kritik berdatangan dari berbagai kalangan yang khawatir kebijakan ini akan memicu inflasi dan berdampak negatif pada perekonomian AS, bahkan berpotensi memicu resesi global.
China sendiri langsung merespons keras kebijakan Trump, menyebutnya sebagai bentuk "pemerasan ekonomi" dan menegaskan akan melawan sampai akhir. Selain tarif balasan, China juga mengambil berbagai langkah retaliasi, termasuk menambahkan perusahaan-perusahaan AS ke dalam daftar "entitas tidak bisa diandalkan" dan membatasi ekspor mineral tanah jarang ke AS. Bahkan beredar laporan yang menyebutkan China akan melarang penayangan semua film AS sebagai bentuk balasan lebih lanjut.
Dampak Perang Tarif: Inflasi dan Gejolak Pasar
Dampak dari perang tarif ini sudah mulai terasa. Beberapa peritel di AS menunda pemesanan barang dari China dan menahan perekrutan karyawan baru. Kenaikan harga barang-barang konsumsi di AS juga sudah mulai terlihat, menambah beban bagi masyarakat.
Situasi ini juga menyebabkan gejolak di pasar saham global, dengan penurunan indeks saham di AS dan Asia. Para investor khawatir perang dagang akan semakin memperburuk kondisi ekonomi global yang sudah rapuh.
Para analis ekonomi memprediksi dampak negatif yang lebih luas. Tidak hanya inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga potensi gangguan pada rantai pasokan global. Ketergantungan ekonomi global pada kedua negara adikuasa ini membuat dampak perang dagang terasa hingga ke berbagai belahan dunia.
Beberapa pemimpin negara telah berupaya melakukan komunikasi untuk mencegah penerapan tarif tambahan, namun Trump tetap teguh pada keputusannya. Meskipun demikian, pemerintahan Trump juga menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi dengan negara-negara yang ingin mencapai kesepakatan khusus, membuka peluang bagi penyelesaian konflik yang lebih damai.
Advertisement
China Melawan Balik: Strategi Retaliasi
Langkah-langkah retaliasi China tidak hanya terbatas pada tarif balasan. Mereka juga menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk menekan AS. Pembatasan ekspor mineral tanah jarang, misalnya, dapat berdampak signifikan pada industri teknologi AS yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut. Penambahan perusahaan-perusahaan AS ke dalam daftar "entitas tidak bisa diandalkan" juga berpotensi mengganggu operasional bisnis mereka di China.
Larangan penayangan film AS, jika benar terjadi, akan menjadi pukulan telak bagi industri perfilman Hollywood yang selama ini mendapatkan keuntungan besar dari pasar China. Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan China dalam menghadapi tekanan dari AS dan kesiapan mereka untuk berperang dagang dalam jangka panjang.
Ancaman resesi global semakin nyata dengan memanasnya perang dagang ini. Para ahli ekonomi menyerukan perlunya solusi diplomatik untuk meredakan ketegangan dan mencegah dampak negatif yang lebih besar terhadap perekonomian dunia.
Perang dagang AS-China tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan geopolitik. Kedua negara merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, sehingga konflik di antara mereka akan berdampak luas dan mendalam.
