Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengajukan pagu indikatif anggaran belanja pemerintah pusat untuk Kementerian Lembaga (KL) pada 2020 sebesar Rp 854 triliun.
Angka ini turun 0,25 persen jika dibandingkan dengan yang diajukan pada 2019 sebesar Rp 855 triliun.
"Di 2020 pagu KL ditetapkan sebanyak Rp 854 triliun ini memang dibuat awal ini dalam satu sampai dua bulan lalu sedikit alami penurunan dibanding pagu APBN 2019 yang capai Rp 855 triliun," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Askolani mengatakan, pagu indikatif ini sangat sementara dan tentunya dalam waktu-waktu berjalan masih dapat diubah oleh pemerintah. Dengan melihat kemampuan fiskal pemerintah dari sisi penerimaan dan dari sisi belanja.
Adapun, penurunan tersebut terjadi karena pemerintah pada 2020 akan memfokuskan belanja KL lebih efisien dan efektif. Sehingga rupiah yang dibelanjakan akan memberikan manfaat bagi pembangunan bangsa.
Jika di rata-ratakan sejak 2014-2019 belanja pemerintah pusat untuk KL pertumbuhannya pertahun mencapai 8,2 persen. Masing-masing untuk belanja pegawai tumbuh 9,5 persen, belanja barang 14,3 persen, dan belanja modal 4,1 persen.
Atas dasar itu, pemerintah menginginkan agar pada 2020 belanja barang akan diefisienkan untuk kemudian dialihkan ke belanja modal semakin ditingkatkan.
Hal itu karena fokus pemerintah dalam rencana kerja 2020 adalah pengembangan sumber daya manusia, infrastruktur, serta jaring pengaman sosial.
"Untuk dukung prioritas pemerintah, efisiensi belanja barang KL diupayakan supaya bisa dialihkan ke belanja produktif. Ini arah belanja KL secara umum," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penyebab Pembangunan Infrastruktur Tersendat
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengungkapkan beberapa kendala yang menyebabkan pembangunan infrastruktur di Indonesia tersendat. Salah satu faktornya adalah kemampuan fiskal pemerintah yang dinilai masih terbatas.
"Kendala percepatannya kemampuan fiskal kita terbatas, disi lain fokus belanja banyak. Masalah belanja pegawai, subsidi dan alokasi kita ke pemerintah daerah (jadi terbagi)," katanya dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.
Askolani mengatakan, pemerintah sendiri sebetulnya sudah mengarahkan pembangunan infrastruktur agar lebih masif. Hanya saja, dia mengakui hasilnya belum secepat yang diharapkan.
Seperti diketahui salah satu program prioritas Pemerintah Jokowi-JK yakni pembangunan infrastruktur.
Sebab infrastruktur memiliki peran strategis sebagai prasyarat, menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk itu, arah kebijakan pemerintah pada 2020 yakni tetap konsisten terhadap pembangunan infrastruktur secara merata. Pemerintah dalam hal ini akan menambah belanja modal di 2020.
"Tentu itu menjadi salah satu cikal bakal belanja infrastruktur yang lebih baik itu juga konsisten kalau kita lihat melalui DAK fisik yang juga diarahkan untk infrastruktur melalui pemda-pemda," pungkasnya.
Advertisement
Infrastruktur Jadi Modal Dasar RI Keluar dari Jebakan Kelas Menengah
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, pembenahan daya saing menjadi kunci utama agar Indonesia bisa terlepas dari jebakan negara berpendapatan kelas menengah atau middle income trap.
Untuk bisa memperbaiki daya saing, ia menekankan, pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara masif. "Perbaikan signifikan dalam komponen infrastruktur jadi kunci utama perbaikan daya saing karena berkaitan dengan konektivitas dan penurunan biaya logistik," imbuhnya kepada Liputan6.com, Minggu, 16 Juni 2019.
Dia menyatakan, perbaikan infrastruktur dalam hal ini memang memainkan peran penting, sebab Indonesia sebelumnya harus menghadapi mahalnya biaya logistik sebesar 24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Pembangunan infrastruktur, khususnya penunjang logistik darat dan laut yang turunkan logistic cost, bisa membuat harga produk lebih kompetitif, khususnya yang berorientasi ekspor. Jadi pembangunan infrastruktur yang mendorong turunnya biaya logistik harus dilanjutkan," dia menambahkan.
Selain biaya logistik, ia melanjutkan, pembangunan infrastruktur juga berkaitan dengan efisiensi investasi. Bhima mencatat, rasio antara investasi dengan pertumbuhan output atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia saat ini masih berada diatas 6 persen, di mana idealnya ada di bawah 3 persen.
"ICOR yang tinggi menunjukkan biaya untuk investasi cukup mahal di Indonesia alias kurang efisien. Jadi semakin baik infrastrukturnya, semakin rendah ICOR-nya," jelas dia.
Bhima pun turut menyoroti cita-cita Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu, yang sempat memaparkan rencana pemerintah untuk mendorong Indonesia keluar dari middle income trap.
Bila benar-benar ingin menjadi negara berpendapatan tinggi, maka Indonesia harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara rata-rata di atas 7-8 persen setiap tahunnya.
"Terkait target yang reachable, upaya-upaya yang disampaikan Sri Mulyani juga harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7-8 persen," pungkas dia.